Driver Ojol Mogok Massal Sehari, Uang Rp 188 Miliar Melayang

6 hours ago 1
Aksi pengemudi ojek online di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, 20 Mei 2025. Aksi tersebut menuntut kesejahteraan pengemudi termasuk agar potongan aplikasi maksimal hanya sebesar 10 persen, meminta adanya revisi terhadap tarif penumpang dan penghapusan program-program seperti aceng, slot, hemat, dan prioritas yang dinilai merugikan pengemudi | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Aksi mogok nasional para pengemudi ojek online (ojol) pada Selasa (20/5/2025) kemarin ternyata harus dibayar mahal. Bagaimana tidak, karena aksi tersebut telah mengakibatkan hilangnya perputaran uang hingga Rp 188 miliar, hanya dalam sehari.

Perkiraan kerugian itu disampaikan oleh lembaga riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS). Menurut peneliti IDEAS, Muhammad Anwar, aksi mogok yang digelar serentak di berbagai kota besar diperkirakan menurunkan aktivitas sektor transportasi daring hingga 50 persen. Dengan nilai transaksi harian sektor ini mencapai Rp 375,89 miliar, penurunan separuh aktivitas berarti ada hampir Rp 188 miliar yang tak berputar dalam satu hari.

“Dampaknya langsung terasa, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pedagang kuliner yang bergantung pada layanan pesan antar seperti GoFood dan GrabFood. Mereka mengalami penurunan pesanan secara signifikan,” ujar Anwar dalam keterangan tertulis, Rabu (21/5/2025).

Anwar menyebut, bagi warung-warung kecil, arus kas harian menjadi urat nadi yang menentukan keberlangsungan usaha. Gangguan seperti ini bisa mengancam kelangsungan bisnis mereka. Tidak hanya itu, masyarakat umum, terutama pekerja harian dan pelajar di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, juga terdampak karena mobilitas mereka terganggu. Hal ini diperparah oleh belum terintegrasinya sistem transportasi publik secara optimal.

Sektor logistik skala kecil juga tidak luput dari imbasnya. Layanan seperti GoSend dan GrabExpress mengalami hambatan operasional, padahal banyak pelaku usaha mikro dan individu sangat mengandalkan jasa pengiriman barang dan dokumen secara cepat melalui platform-platform tersebut.

Lebih jauh, Anwar menyoroti risiko reputasi yang harus dihadapi oleh perusahaan platform digital. Menurutnya, keberlanjutan bisnis mereka sangat tergantung pada keberadaan jaringan pengemudi. Jika para pengemudi merasa tidak dihargai dan tidak dilindungi secara layak, maka model bisnis yang selama ini menopang platform digital bisa terguncang.

“Ketika mitra merasa tidak diberi kejelasan soal algoritma penghasilan dan tidak memiliki perlindungan hukum, maka itu menciptakan ketegangan yang berisiko tinggi bagi kelangsungan bisnis digital,” ujarnya.

Berdasarkan data IDEAS, sepanjang 2024, nilai total transaksi (gross transaction value/GTV) dari layanan Gojek yang mencakup GoRide, GoFood, dan GoSend mencapai Rp 63,04 triliun. Sementara itu, GTV Grab secara global di enam negara Asia Tenggara mencapai US$18,4 miliar atau sekitar Rp 293 triliun dengan asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS. Jika kontribusi Indonesia diperkirakan 20 persen dari total GTV Grab global, maka GTV Grab Indonesia diperkirakan mencapai Rp 58,75 triliun.

Di luar dua raksasa itu, ada sejumlah aplikasi lain seperti Maxim, inDrive, Anterin, dan Nujek. Jika digabungkan, kontribusi mereka diperkirakan sekitar 10 persen dari total pasar, atau sekitar Rp 13,53 triliun. Dengan demikian, total GTV industri transportasi daring di Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai Rp 135,32 triliun, atau sekitar Rp 375,89 miliar per hari.

Anwar menyebut aksi mogok ini sebagai refleksi dari ketimpangan relasi antara perusahaan platform digital besar dengan para mitra pengemudi. Dalam praktiknya, pengemudi bekerja seperti karyawan tetap, namun tanpa jaminan sosial dan perlindungan hukum yang layak.

“Tanpa regulasi yang adil, digitalisasi hanya menjadi wajah baru dari eksploitasi ekonomi lama. Negara tidak boleh tinggal diam melihat jutaan pengemudi dibiarkan tanpa kepastian hukum dan perlindungan,” tegasnya.

Aksi mogok nasional pada 20 Mei 2025 itu diorganisir oleh sekitar sepuluh serikat pengemudi ojek online. Mereka menggelar demonstrasi di depan Kantor Kementerian Perhubungan di Jakarta Pusat, dan diikuti secara serentak oleh pengemudi dari berbagai kota besar seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Solo, Bandung, Sukabumi, Lampung, Medan, Palembang, hingga Dumai.

Adapun sepuluh serikat tersebut antara lain Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Serikat Demokrasi Pengemudi Indonesia (SDPI), Serikat Pengemudi Angkutan Roda Dua (Serdadu), Serikat Pengemudi Transportasi Indonesia (Sepeta), Serikat Pekerja Bersatu Maluku Nusantara (SPBMN), Serikat Pekerja Dirgantara Digital dan Transportasi (SPDT), Serikat Transportasi Indonesia (STI), Serikat Pengemudi Daring (SPEED), Serikat Pengemudi Platform Daring (SPPD), dan Serikat Pengemudi Online Indonesia (SePOI).

Ketua SPAI, Lily Pujiati, menyatakan bahwa aksi tersebut bertujuan menuntut kepastian hukum dan perlindungan sosial bagi pengemudi ojol. “Kami pengemudi ojol semakin tertindas di bawah status mitra yang diatur sepihak oleh perusahaan platform. Aksi ini adalah bentuk perlawanan kolektif,” tegas Lily.

Di luar Jakarta, aksi dilakukan dengan cara mematikan aplikasi atau off-bid massal, sebagai bentuk solidaritas nasional.  

www.tempo.co

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|