Oleh: Dr. H. Tumpal Panggabean, MA
Tragedi kemanusiaan yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) adalah sebuah jeritan pilu yang mengguncang nurani bangsa. Dengan jumlah korban jiwa yang terus bertambah secara masif, mencapai lebih dari 900 orang, bencana di Sumatera ini telah melampaui batas kemampuan penanganan daerah. Namun, di tengah duka yang mendalam, kita menyaksikan sebuah dilema politik yang memilukan di pusat kekuasaan.
Dilema Penguasa: Kemanusiaan atau Citra Diri ?
Desakan agar Pemerintah Pusat segera menetapkan bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional adalah tuntutan logis dan konstitusional. Penetapan status ini bukan sekadar formalitas, melainkan kunci untuk membuka akses mobilisasi sumber daya nasional dan internasional secara penuh, serta mengaktifkan mekanisme penanganan darurat yang terpusat dan terkoordinasi.
Namun, keengganan pusat untuk bertindak cepat menimbulkan pertanyaan besar: Apakah penguasa lebih memilih untuk menahan diri karena takut “membuka borok sendiri” terkait lemahnya pengawasan dan tata kelola lingkungan? Ataukah mereka benar-benar tidak melihat jumlah kematian yang semakin massif sebagai prioritas utama? Pemerintah beralasan bahwa status bencana nasional belum ditetapkan karena mempertimbangkan berbagai aspek, meskipun penanganan di lapangan sudah diupayakan secara optimal.
Dilema ini harus diakhiri. Jumlah korban jiwa yang terus bertambah adalah indikator paling nyata bahwa kapasitas daerah telah terlampaui. Menunda penetapan status Bencana Nasional adalah bentuk kelalaian yang tidak dapat dimaafkan, yang secara langsung mengorbankan nyawa rakyat di atas altar pertimbangan politik dan citra.
Bencana Ekologis: Korporasi Adalah Aktor Utama
Kita harus tegas menolak narasi yang menyederhanakan tragedi ini sebagai “bencana alam” semata yang disebabkan oleh cuaca ekstrem. Bencana di Sumatera adalah bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan hutan yang brutal dan sistematis.
Oleh karena itu, kami menuntut agar tujuh perusahaan yang terindikasi sebagai pelaku utama perusakan hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatera harus segera dan tegas dijadikan sebagai aktor utama terjadinya bencana nasional. Tudingan ini, yang salah satunya disuarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara, menyebutkan bahwa aktivitas eksploitatif di kawasan Ekosistem Batang Toru adalah pemicu utama bencana ekologis di Tapanuli.
Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah merespons dengan menyegel empat subjek hukum yang diduga menyebabkan banjir bandang di Aceh-Sumatera. Namun, langkah ini belum cukup. Kita menuntut penegakan hukum yang tuntas terhadap semua korporasi yang terbukti merusak lingkungan. Inilah saatnya bagi negara untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan lingkungan, bukan kepada kepentingan segelintir oligarki yang merusak.
Gertakan Aceh dan Bahaya Sentralisasi Jawa-Sentris
Lambannya penanganan bencana dari pusat telah memicu reaksi politik yang sangat serius. Gertakan dari Aceh yang mengungkit kembali tuntutan referendum adalah alarm bahaya yang tidak boleh dianggap enteng.
Kekecewaan yang mendalam terhadap lambannya respons pusat dalam krisis kemanusiaan ini dapat memicu efek ikutan dari daerah-daerah lain yang terdampak bencana atau yang secara historis merasa dianaktirikan oleh sistem sentralisasi. Isu ini bukan sekadar masalah Aceh, tetapi cerminan dari ketidakpercayaan daerah terhadap model pemerintahan yang terlalu berpusat di Jawa. Bahkan, ada seruan terbuka dari kalangan aktivis di Aceh yang mempertimbangkan wacana referendum jika pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional.
Oleh karena itu, kami mendesak agar sentralisasi yang berpusat di Jawa harus dikaji ulang secara komprehensif dalam asas keadilan distributif di atas semangat kesejahteraan bersama. Sentralisasi kekuasaan dan ketimpangan pembangunan yang berpusat di Jawa telah lama menjadi dilema dan berpotensi memicu ancaman disintegrasi.
Kedaulatan Sumber Daya Alam untuk Kesejahteraan Lokal
Sebagai penutup, ICMI MUDA Pusat menegaskan, sumber daya alam yang ada di Sumatera harus dimanfaatkan seutuhnya bagi warga lokal dengan segala kearifan yang terkandung bersamanya.
Keadilan distributif menuntut agar hasil kekayaan alam, yang seringkali menjadi pemicu bencana ekologis akibat eksploitasi berlebihan, harus dikembalikan untuk membangun ketahanan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Pengelolaan sumber daya harus didasarkan pada kearifan lokal yang menjunjung tinggi keseimbangan alam, bukan pada logika eksploitasi korporasi yang rakus.
Kami menuntut:
1. Segera tetapkan Bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional.
2. Tegakkan hukum seadil-adilnya terhadap 7 perusahaan perusak hutan.
3. Kaji ulang sentralisasi demi keadilan distributif dan kedaulatan sumber daya lokal.
Jangan biarkan nyawa rakyat dan kedaulatan daerah menjadi korban dari dilema politik penguasa. Indonesia adalah negara kesatuan yang dibangun di atas semangat keadilan dan kesejahteraan bersama, bukan di atas ketimpangan dan ketidakpedulian.
Penulis adalah Ketua Presidium ICMI MUDA Pusat
Oleh: Dr. H. Tumpal Panggabean, MA
Tragedi kemanusiaan yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) adalah sebuah jeritan pilu yang mengguncang nurani bangsa. Dengan jumlah korban jiwa yang terus bertambah secara masif, mencapai lebih dari 900 orang, bencana di Sumatera ini telah melampaui batas kemampuan penanganan daerah. Namun, di tengah duka yang mendalam, kita menyaksikan sebuah dilema politik yang memilukan di pusat kekuasaan.
Dilema Penguasa: Kemanusiaan atau Citra Diri ?
Desakan agar Pemerintah Pusat segera menetapkan bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional adalah tuntutan logis dan konstitusional. Penetapan status ini bukan sekadar formalitas, melainkan kunci untuk membuka akses mobilisasi sumber daya nasional dan internasional secara penuh, serta mengaktifkan mekanisme penanganan darurat yang terpusat dan terkoordinasi.
Namun, keengganan pusat untuk bertindak cepat menimbulkan pertanyaan besar: Apakah penguasa lebih memilih untuk menahan diri karena takut “membuka borok sendiri” terkait lemahnya pengawasan dan tata kelola lingkungan? Ataukah mereka benar-benar tidak melihat jumlah kematian yang semakin massif sebagai prioritas utama? Pemerintah beralasan bahwa status bencana nasional belum ditetapkan karena mempertimbangkan berbagai aspek, meskipun penanganan di lapangan sudah diupayakan secara optimal.
Dilema ini harus diakhiri. Jumlah korban jiwa yang terus bertambah adalah indikator paling nyata bahwa kapasitas daerah telah terlampaui. Menunda penetapan status Bencana Nasional adalah bentuk kelalaian yang tidak dapat dimaafkan, yang secara langsung mengorbankan nyawa rakyat di atas altar pertimbangan politik dan citra.
Bencana Ekologis: Korporasi Adalah Aktor Utama
Kita harus tegas menolak narasi yang menyederhanakan tragedi ini sebagai “bencana alam” semata yang disebabkan oleh cuaca ekstrem. Bencana di Sumatera adalah bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan hutan yang brutal dan sistematis.
Oleh karena itu, kami menuntut agar tujuh perusahaan yang terindikasi sebagai pelaku utama perusakan hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatera harus segera dan tegas dijadikan sebagai aktor utama terjadinya bencana nasional. Tudingan ini, yang salah satunya disuarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara, menyebutkan bahwa aktivitas eksploitatif di kawasan Ekosistem Batang Toru adalah pemicu utama bencana ekologis di Tapanuli.
Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah merespons dengan menyegel empat subjek hukum yang diduga menyebabkan banjir bandang di Aceh-Sumatera. Namun, langkah ini belum cukup. Kita menuntut penegakan hukum yang tuntas terhadap semua korporasi yang terbukti merusak lingkungan. Inilah saatnya bagi negara untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan lingkungan, bukan kepada kepentingan segelintir oligarki yang merusak.
Gertakan Aceh dan Bahaya Sentralisasi Jawa-Sentris
Lambannya penanganan bencana dari pusat telah memicu reaksi politik yang sangat serius. Gertakan dari Aceh yang mengungkit kembali tuntutan referendum adalah alarm bahaya yang tidak boleh dianggap enteng.
Kekecewaan yang mendalam terhadap lambannya respons pusat dalam krisis kemanusiaan ini dapat memicu efek ikutan dari daerah-daerah lain yang terdampak bencana atau yang secara historis merasa dianaktirikan oleh sistem sentralisasi. Isu ini bukan sekadar masalah Aceh, tetapi cerminan dari ketidakpercayaan daerah terhadap model pemerintahan yang terlalu berpusat di Jawa. Bahkan, ada seruan terbuka dari kalangan aktivis di Aceh yang mempertimbangkan wacana referendum jika pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional.
Oleh karena itu, kami mendesak agar sentralisasi yang berpusat di Jawa harus dikaji ulang secara komprehensif dalam asas keadilan distributif di atas semangat kesejahteraan bersama. Sentralisasi kekuasaan dan ketimpangan pembangunan yang berpusat di Jawa telah lama menjadi dilema dan berpotensi memicu ancaman disintegrasi.
Kedaulatan Sumber Daya Alam untuk Kesejahteraan Lokal
Sebagai penutup, ICMI MUDA Pusat menegaskan, sumber daya alam yang ada di Sumatera harus dimanfaatkan seutuhnya bagi warga lokal dengan segala kearifan yang terkandung bersamanya.
Keadilan distributif menuntut agar hasil kekayaan alam, yang seringkali menjadi pemicu bencana ekologis akibat eksploitasi berlebihan, harus dikembalikan untuk membangun ketahanan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Pengelolaan sumber daya harus didasarkan pada kearifan lokal yang menjunjung tinggi keseimbangan alam, bukan pada logika eksploitasi korporasi yang rakus.
Kami menuntut:
1. Segera tetapkan Bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional.
2. Tegakkan hukum seadil-adilnya terhadap 7 perusahaan perusak hutan.
3. Kaji ulang sentralisasi demi keadilan distributif dan kedaulatan sumber daya lokal.
Jangan biarkan nyawa rakyat dan kedaulatan daerah menjadi korban dari dilema politik penguasa. Indonesia adalah negara kesatuan yang dibangun di atas semangat keadilan dan kesejahteraan bersama, bukan di atas ketimpangan dan ketidakpedulian.
Penulis adalah Ketua Presidium ICMI MUDA Pusat

4 hours ago
2

















































