Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (17/12/2025) | IstimewaYOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Di tengah realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, persoalan pengelolaan perbedaan kembali mengemuka sebagai tantangan serius kehidupan berbangsa. Isu ini mengemuka dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar yang digelar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (17/12/2025).
Dalam sidang tersebut, Prof. Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si. resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Gerakan Keagamaan pada Fakultas Syariah dan Hukum. Pengukuhan dilakukan oleh Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Kamsi, M.A., dan disaksikan langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D.
Melalui pidato pengukuhan berjudul “Embracing The Others: Dari Refleksivitas Personal-Komunalis Menuju Masyarakat Nasionalis”, Prof. Sodik menekankan pentingnya membangun sikap terbuka dan reflektif dalam menyikapi dinamika gerakan keagamaan di Indonesia. Menurutnya, nasionalisme tidak lahir dari penyeragaman, melainkan dari kesediaan menerima dan menghormati perbedaan.
Prof. Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si. menyampaikan pidatonya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Gerakan Keagamaan pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga | IstimewaIa menilai pendekatan sosiologis menjadi krusial agar identitas keagamaan tidak dikelola secara eksklusif. Ilmu pengetahuan, kata Sodik, semestinya berfungsi sebagai ruang dialog yang menjembatani perbedaan, bukan justru menjadi alat pembenaran bagi praktik diskriminatif.
Dalam konteks tersebut, Sodik menyinggung kembali persoalan jemaat Ahmadiyah yang hingga kini masih menghadapi berbagai pembatasan di sejumlah daerah. Menurutnya, persoalan Ahmadiyah bukan sekadar perbedaan tafsir keagamaan, melainkan menyangkut hak konstitusional warga negara yang kerap terabaikan. Penolakan sosial, pembatasan kegiatan ibadah, hingga tekanan psikologis menjadi realitas yang masih dialami sebagian jemaat.
Ia menegaskan, perlindungan terhadap warga negara tidak boleh diserahkan pada kehendak mayoritas. Negara, tegasnya, memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan setiap warga, apa pun keyakinannya, mendapatkan perlakuan yang adil dan setara di hadapan hukum.
Dalam praktiknya, lanjut Sodik, konflik justru sering muncul akibat lemahnya peran negara. Pembiaran aparat, lahirnya regulasi daerah yang diskriminatif, serta absennya dialog setara membuka ruang bagi marginalisasi kelompok minoritas. Perbedaan pandangan keagamaan, termasuk yang merujuk pada fatwa keagamaan, tidak dapat dijadikan dasar pembatasan hak sipil warga.
Indonesia, menurutnya, sejatinya memiliki fondasi kuat untuk merawat keberagaman melalui nilai Pancasila, tradisi musyawarah, dan pengalaman historis hidup berdampingan. Tantangannya terletak pada konsistensi negara dalam menegakkan hukum dan memastikan kebijakan publik tetap selaras dengan prinsip konstitusi.
Persoalan Ahmadiyah, bagi Sodik, menjadi cermin sejauh mana demokrasi Indonesia bekerja melindungi mereka yang berada di posisi minoritas. Cara negara memperlakukan kelompok yang berbeda akan menentukan kualitas kebinekaan dan masa depan kehidupan bersama di Indonesia. [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

9 hours ago
4

















































