JOGLOSEMARNEWS.COM – Dalam lanskap dinamika politik nasional, dua peristiwa penting yang berlangsung di Vatikan baru-baru ini turut menarik perhatian publik Indonesia. Pemakaman Paus Fransiskus dan pelantikan Paus Leo XIV sebagai penggantinya, meski berjarak ribuan kilometer, namun dua momentum tersebut menyisakan pesan dan tafsir tersendiri di Tanah Air.
Menariknya, dalam prosesi pemakaman Paus Fransiskus, Presiden Prabowo Subianto menunjuk sejumlah tokoh untuk mewakili Indonesia. Mereka adalah Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, yang kebetulan beragama Katolik.
Dua tokoh lainnya yang diutus bersama Natalius Pigai adalah orang-orang non-kabinet Merah Putih, yakni Ignatius Jonan, dan mantan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).
Dari sini sudah muncul pertanyaan, mengapa yang diutus bukan Wapres?
Situasi serupa terjadi pula dalam pelantikan Paus Leo XIV. Presiden Prabowo yang kembali berhalangan hadir, kali ini mengutus Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) untuk menghadiri acara tersebut. Lagi-lagi, bukan Wakil Presiden Gibran yang diberi mandat.
Dua keputusan beruntun yang sama-sama tidak melibatkan Wapres Gibran dalam momen kenegaraan berskala global ini memunculkan beragam interpretasi dan spekulasi. Publik mulai bertanya-tanya: apakah ini sekadar kebetulan teknis semata, atau menyimpan pesan tertentu?
Terlepas dari apapun jawabannya, penunjukan tokoh-tokoh di luar Wapres pada agenda-agenda strategis luar negeri, tentu menjadi catatan tersendiri dalam dinamika relasi kekuasaan di pemerintahan saat ini.
Secara protokoler, sudah menjadi kelaziman bahwa Wakil Presiden (Wapres) mewakili Presiden dalam menghadiri acara-acara kenegaraan di luar negeri. Hal ini tercermin dari sejumlah preseden sebelumnya. Misalnya, Presiden Joko Widodo pernah mengutus Wapres Jusuf Kalla untuk menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2018 dan 2019 di New York.
Hal serupa terjadi pada masa Wapres Ma’ruf Amin, yang mewakili Presiden Jokowi dalam Forum Pemerintahan Global di Dubai, Uni Emirat Arab, pada Februari 2022. Dalam forum tersebut, Ma’ruf Amin menyampaikan pidato yang mengangkat isu strategis seperti ekonomi syariah dan transformasi digital.
Praktik ini juga terjadi di era pemerintahan sebelumnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengutus Wapres Boediono untuk memimpin delegasi Indonesia dalam KTT G-20 di Toronto, Kanada. Bahkan di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Wapres Hamzah Haz diutus menghadiri Konferensi Islam dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada awal 2000-an.
Dengan melihat praktik-protokoler tersebut, wajar apabila dalam momentum penting seperti pelantikan Paus — pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia — publik menduga bahwa Presiden Prabowo Subianto akan mengutus Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk hadir. Namun kenyataannya, Presiden Prabowo justru memilih nama lain di luar Wapres sebagai perwakilan resmi Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto justru menunjuk pejabat setingkat menteri—yakni Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin)—untuk menghadiri pelantikan Paus Leo XIV, publik pun bertanya-tanya: apa pertimbangannya?
Penunjukan Cak Imin tentu tidak bisa dibaca secara sempit hanya dari sisi formalitas jabatan. Ada konteks yang lebih luas yang perlu diperhatikan. Sebagai tokoh Muslim sekaligus Ketua Umum partai besar, Cak Imin memiliki rekam jejak panjang dalam isu-isu kebangsaan, termasuk kerukunan umat beragama dan toleransi. Ia juga dikenal memiliki akses dan pengalaman dalam menjalin komunikasi lintas budaya dan agama di tingkat internasional.
Dalam forum global yang menyentuh ranah iman dan kemanusiaan, kehadiran figur dengan sensitivitas antaragama menjadi penting. Cak Imin, dalam hal ini, bisa dipandang sebagai sosok yang mampu membawa pesan-pesan Indonesia mengenai kebhinekaan, perdamaian, dan dialog antariman secara otentik. Penunjukan dirinya pun bisa dilihat sebagai strategi simbolik untuk menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam merawat toleransi dan menghargai keberagaman.
Lebih dari sekadar representasi diplomatik, forum seperti pelantikan Paus juga membutuhkan kehadiran figur yang mampu menjembatani nilai-nilai lokal dengan nilai-nilai global. Dalam konteks ini, Cak Imin mungkin dinilai sebagai tokoh yang memiliki kecakapan komunikasi, pemahaman lintas budaya, hingga jejaring personal yang relevan di forum-forum lintas iman.
Dengan kata lain, pilihan Presiden untuk mengutus Cak Imin bukan semata keputusan administratif, melainkan pertimbangan strategis yang menyasar pada pesan moral dan simbolik yang ingin dibawa Indonesia ke panggung internasional.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Presiden Prabowo cukup bijak dalam memilih siapa yang layak menjadi wakil resmi negara di forum internasional. Ia tentu tidak akan gegabah mengutus seorang pejabat “karbitan” yang minim pengalaman ke pentas luar negeri, apalagi dalam acara besar seperti pelantikan Paus. Sebab, seorang utusan membawa serta nama baik bangsa Indonesia, dan Presiden Prabowo tampaknya tidak akan mempertaruhkan kehormatan itu di pundak pejabat yang belum teruji kapabilitasnya. Begitulah kira-kira. [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.