Obrolan Buku Jadul: Membaca Sinyal Politik Bansos Pilpres 2024 Lewat Puisi SBY

21 hours ago 2
puisi SBYMembaca dan mereview buku antologi puisi SBY Membasuh Hati di Taman Kehidupan ditemani segelas teh sungguh terasa nikmat | Foto: Hamdani MW

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Meski telah diterbitkan satu dekade silam, antologi puisi SBY ini tak kehilangan relevansinya. Di balik sosoknya sebagai politikus dan negarawan yang dikenal tegas serta penuh perhitungan, Susilo Bambang Yudhoyono menyimpan sisi lain yang jarang dimiliki oleh banyak pemimpin di negeri ini: jiwa seni yang peka, empatik, dan mendalam.

Bagi SBY, seni bukan sekadar pelarian, melainkan ruang refleksi yang menyatu dengan nafas kehidupannya. Dalam sepi – di sela-sela kesibukan kerja –  ia merangkai kata menjadi puisi. Dalam kerinduan, ia menciptakan lagu yang menyentuh.

Sejak mudanya, SBY memang telah menunjukkan minat besar pada dunia seni, terutama musik dan sastra. Meski perjalanannya banyak diwarnai ketegangan politik dan beban tanggung jawab sebagai Presiden ke-6 RI, ia tak pernah benar-benar meninggalkan dunia seni yang ia cintai. Justru dari kedalaman pengalaman hidup dan pergulatannya sebagai pemimpin bangsa, lahirlah karya-karya yang jujur, personal, dan menyuarakan nurani.

Tak sedikit lagu yang ia ciptakan menggambarkan rasa cinta pada tanah air, keindahan alam Indonesia, juga kisah-kisah kemanusiaan. Lirik-liriknya hadir dengan bahasa yang sederhana namun menyimpan kekuatan emosi. Sementara dalam puisi, SBY kerap menuliskan perenungannya tentang kehidupan, kenegaraan, dan cinta. Ada pula puisi yang bernada satire terhadap perpolitikan tanah air.

Semua itu menjadi semacam jejak batin yang ia wariskan kepada publik, sebagai ekspresi terdalam seorang presiden yang memiliki jiwa seni.

Bukan hal yang lazim di dunia politik Indonesia, seorang jenderal sekaligus mantan kepala negara memilih puisi dan musik sebagai medium ekspresi. Namun di situlah letak keistimewaan SBY—bahwa di tengah hiruk-pikuk dunia kekuasaan, ia tetap memelihara ruang sunyi untuk berkarya. Seni, bagi SBY, bukan sekadar hobi. Ia adalah panggilan jiwa.

Buku Membasuh Hati di Taman Kehidupan yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini menjadi salah satu bukti bahwa SBY memiliki jejak yang cukup menonjol di bidang seni, khususnya puisi. Antologi yang memuat 73 puisi ini merekam refleksi dan perenungan SBY—baik sebagai pribadi dengan kegelisahan dan harapannya, maupun sebagai presiden yang tengah memikul amanah besar memimpin bangsa.

Buku ini merupakan gabungan dari dua antologi puisi Taman Kehidupan (2004) dan Membasuh Hati (2010) yang kemudian disatukan dalam satu judul Membasuh Hati di Taman Kehidupan, dan diterbitkan pada tahun 2014—beberapa bulan menjelang berakhirnya masa jabatan SBY sebagai Presiden RI ke-6.

Tentu, kita tak perlu membayangkan puisi-puisi ini lahir seperti karya para penyair yang memang mengabdikan hidupnya untuk dunia sastra. Seperti yang pernah disampaikan Putu Wijaya, menulis puisi bagi SBY bukan berarti menjadikan dirinya seorang penyair. Namun yang menarik, SBY tampak menyadari potensi puisi sebagai media refleksi dan ekspresi. Ia memanfaatkannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan, serta perenungan atas perjalanan bangsa yang ia pimpin.

Puisi-puisi dalam buku ini tampil dalam beragam nuansa. Ada yang hadir dari posisinya sebagai presiden yang merasa perlu menyampaikan sesuatu kepada publik. Namun, seperti ditulis Mustofa Bisri, tak sedikit pula yang lahir dari sisi personal SBY—sebagai manusia biasa dengan perasaan dan empati. “Karena itu, antologi ini, setidaknya menurut saya, menjadi luar biasa,” tulis Mustofa Bisri.

Dalam puisi “Mahligai Kasih”, misalnya, SBY menyampaikan pesan kepada anak-anaknya tentang bagaimana menghadapi masa depan. Puisi ini menggambarkan tantangan yang mungkin akan mereka hadapi, namun di balik itu tersirat keyakinan dan optimisme, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut:

Tetapi,

Kutitip pesan untukmu, anak-anakku

Taman batin yang kau sirami

Dengan cahaya harapan dan keindahan

Takkan selalu cerah

Meski tak kering berkah

Kemudian di bait selanjutnya SBY menulis:

Perjalananmu panjang, anakku

Dan tak miskin rintangan

Serta godaan

Namun, layar telah kau kembangkan

Jangan surut dan tertinggal di buritan

Bait ini menyampaikan pesan bahwa setiap generasi akan menghadapi tantangan, rintangan, dan godaan yang berbeda. Sebagai orang tua, SBY tampak memilih untuk bersikap tut wuri handayani—memberi semangat dan motivasi dari belakang, tanpa campur tangan yang berlebihan. Ia seakan menyadari bahwa masa depan adalah milik anak-anaknya sendiri, yang harus mereka tapaki dengan keputusan dan langkah mereka sendiri.

Menariknya, di tengah kiprah dan kesibukannya sebagai politikus, presiden, dan negarawan, SBY tidak kehilangan sisi humanisnya—rasa dan cinta tetap hidup dalam dirinya. Hal ini tampak jelas dalam sejumlah puisi melankolis seperti Bunga Teratai, Kasih Abadi, Wijayakusuma, Cinta, dan Wulan. Lewat puisi-puisi ini, ia membuka ruang batin yang lebih personal, penuh kelembutan dan kepekaan.

Namun, di antara nuansa lembut itu, ada pula puisi yang menyiratkan kritik sosial. Salah satu yang cukup menarik adalah puisi berjudul Pilkada, yang memunculkan kesan satiris terhadap realitas pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Dalam bait-baitnya, terselip sindiran halus terhadap praktik politik uang dan fenomena ‘banjir’ bantuan sosial. Membaca ulang puisi ini di tengah dinamika Pilpres 2024 yang sempat diramaikan oleh isu serupa, terasa relevan dan penuh makna. Simak kutipan berikut:

PILKADA

Saatnya hampir tiba

Pilkada di sebuah kota

Yang baru menantang yang lama

Entah siapa yang bakal berkuasa

Yang baru harus punya peluru

Obral janji pun tak harus ragu

Fitnah dan fakta bisa jadi  Satu

Pikirnya, politik kan harus begitu

Yang lama tak kalah akal

Bisa obral dana sosial

Banyak izin bisa dijual

Merusak sistem tak jadi soal

Tapi, tak boleh disamaratakan

Tak semua lupa daratan

Banyak yang ksatria jujur beriman

Merekalah para pemimpin harapan

Melalui puisi PILKADA ini, setidaknya dua peristiwa penting yang mewarnai Pilpres 2024 seolah telah tersirat lebih awal. Ungkapan dalam kalimat “Merusak sistem tak jadi soal” dapat dibaca sebagai sindiran yang ternyata relevan terhadap bagaimana aturan Mahkamah Konstitusi (MK) diubah sesuka hati, disesuaikan demi membuka jalan bagi kekuasaan tertentu. Sementara kalimat  “Bisa obral dana sosial” menggambarkan dengan gamblang kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan bantuan sosial demi kepentingan politik praktis demi memuluskan sebuah tujuan.

Tentu saja, puisi bukanlah dokumen hukum atau laporan jurnalistik. Ia adalah karya sastra, sebuah bentuk ekspresi yang lahir dari kepekaan terhadap gejala sosial dan dinamika zaman. Puisi tidak ditulis untuk membuktikan, melainkan untuk mengajak merenung. Dalam nuansa puitis inilah, sebuah puisi menjadi cermin—yang tak selalu menyuguhkan kepastian, tapi membuka ruang kontemplasi dan suara hati. Begitulah kira-kira. [Hamdani MW]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|