Penulis Merasa Diintimindasi,  Artikel Opini di Detik.com Dihapus

6 hours ago 3
Ketua Dewan Pers periode 2025-2028, Komaruddin Hidayat (kiri) bersama Ketua Dewan Pers periode 2022-2025, Ninik Rahayu pada acara serah terima jabatan anggota Dewan Pers 2025-2028 di Gedung Dewan Pers, Jakarta, 14 Mei 2025. Komaruddin Hidayat resmi mengemban tugas sebagai Ketua Dewan Pers bersama delapan anggota yaitu Maha Eka Swasta, Totok Suryanto, Muhammad Jazuli, Abdul Manan, Dahlan Dahi, M Busyro Muqoddas, Rosarita Niken Widiastuti dan Yogi Hadi Ismanto untuk masa jabatan periode 2025-2028 | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Isyarat bahwa kebebasan pers di tanah air tengah menghadapi tekanan kembali mencuat. Salah satu indikasinya terlihat dari kasus intimidasi yang dialami oleh penulis opini di Detik.com.

Tekanan tersebut berbuntut pada penghapusan artikel berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” yang sebelumnya tayang pada 22 Mei 2025. Opini tersebut ditulis oleh YF, seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia, yang menyampaikan kritik terhadap praktik pengangkatan pejabat sipil dari kalangan militer.

YF mengaku mendapat intimidasi dari pihak tak dikenal usai tulisannya terbit, hingga akhirnya meminta agar artikelnya ditarik demi alasan keselamatan.

Tulisan berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” itu sempat terbit di rubrik opini Detiknews.com, namun tak lama kemudian dihapus oleh redaksi. Awalnya, penghapusan tersebut disebut dilakukan atas dasar rekomendasi dari Dewan Pers. Belakangan, klaim itu dikoreksi oleh pihak Detik.com sendiri yang menyatakan bahwa pencabutan dilakukan atas permintaan penulis, demi alasan keselamatan.

Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, membantah adanya campur tangan lembaganya dalam pencabutan artikel tersebut. Ia menegaskan bahwa Dewan Pers belum pernah memberikan saran, permintaan, apalagi rekomendasi kepada Detik.com untuk menghapus tulisan tersebut.

“Dewan Pers belum memberikan rekomendasi, saran, ataupun permintaan kepada redaksi Detik.com untuk mencabut artikel opini tersebut. Namun Dewan Pers telah menerima laporan dari penulis dan saat ini tengah melakukan verifikasi dan mempelajarinya,” kata Komaruddin dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Sabtu, 24 Mei 2025.

Komaruddin menegaskan bahwa setiap media memiliki hak untuk melakukan koreksi atau pencabutan berita jika dirasa perlu, selama langkah itu dilakukan demi menjaga akurasi, keberimbangan, dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Namun ia mengingatkan bahwa setiap keputusan editorial seperti itu perlu disampaikan secara terbuka kepada publik agar tidak menimbulkan spekulasi yang berlebihan.

“Dewan Pers menilai penghapusan sebuah artikel opini atas permintaan penulis adalah hak yang perlu dihormati oleh redaksi. Sama seperti halnya permintaan pencabutan pendapat dari narasumber yang diwawancarai oleh sebuah media,” ujarnya.

Lebih lanjut, Komaruddin mengecam segala bentuk intimidasi terhadap penulis, apalagi jika ditujukan untuk membungkam suara kritis dari masyarakat. Ia menekankan pentingnya menjaga ruang demokrasi yang sehat dan melindungi kebebasan berekspresi, termasuk dari kalangan mahasiswa.

Sementara itu, redaksi Detik.com menyampaikan bahwa penghapusan tulisan dilakukan murni atas permintaan penulis sendiri, bukan karena tekanan dari pihak mana pun. “Redaksi menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis Detik.com dalam klarifikasinya, Jumat, 23 Mei 2025.

Editor Detik.com, Sudrajat, yang dihubungi Tempo untuk dimintai keterangan, enggan memberikan pernyataan yang dapat dikutip. Namun redaksi menegaskan bahwa pencabutan artikel YF adalah langkah yang diambil berdasarkan permintaan langsung dari penulis.

Menanggapi simpang siur informasi yang muncul sebelumnya, Detik.com juga menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan dalam pernyataan awal mereka. “Kami mohon maaf atas keteledoran ini,” tulis mereka melalui situs resmi.

Kasus ini kembali menyentil kepekaan publik terhadap isu kebebasan pers di Indonesia. Ketika suara kritis dari warga, apalagi yang disampaikan secara sah melalui media massa, harus dihapus karena tekanan atau rasa takut, maka pertanyaan besar muncul: seberapa aman sebenarnya ruang demokrasi kita hari ini?  

www.tempo.co

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|