DPR dan MRP Harusnya Mengambil Inisiatif Temui Pendemo
JAYAPURA – Demonstrasi yang terjadi di Abepura, Kota Jayapura, Rabu (15/10) menuai beragam kecaman dari masyarakat. Ini setelah aparat kepolisian melepaskan banyak gas air mata untuk membubarkan massa. Pasalnya tembakan tersebut mengarah ke kawasan pemukiman dimana ada banyak anak-anak dan orang tua.
”Kami menyayangkan ada orang tua dan anak-anak yang dilarikan ke rumah sakit atau diungsikan akibat gas air mata,” kata Kepala Sekretariat Komnas HAM RI di Papua, Frits Ramandey, kepada Cenderawasih Pos, Kamis (16/10).
Namun ia menilai, tindakan yang dilakukan kepolisian adalah penanganan tindakan anarkis. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah diskresi, meski langkah tersebut mengakibatkan efek.
”Ketika terjadi caos, maka polisi tidak bisa membiarkan begitu saja. Harus mengambil tindakan diskersi, masalahnya, dampak diskersi itu menjadi luas. Misalnya tembakan gas air mata untuk mendorong pendemo bubar, dan efeknya adalah mata perih dan efek lainnya,” terangnya.

Menurutnya, polisi memang harus mengambil tindakan tersebut untuk menghentikan tindakan yang tidak diinginkan. Ia mengatakan bahwa, perlu ada pengetahuan bersama tentang penyampaian kebebasan berekspresi. Rujukannya adalah Undang-undang Nomor 9. Baik para pendemo maupun polisi, sebaiknya patuh kepada unsur yang diatur dalam dalam Undang-undang.
”Pendemo juga harus tahu bahwa kita memperjuangkan HAM namun tidak boleh menabrak HAM orang lain,” tegasnya. Frits pun menyoroti DPR dan MRP, yang menurutnya, lembaga tersebut terisolir dan menutup diri. Tidak membuka diri untuk menerima aspirasi para pendemo selama ini.
DPR dan MRP Harusnya Mengambil Inisiatif Temui Pendemo
JAYAPURA – Demonstrasi yang terjadi di Abepura, Kota Jayapura, Rabu (15/10) menuai beragam kecaman dari masyarakat. Ini setelah aparat kepolisian melepaskan banyak gas air mata untuk membubarkan massa. Pasalnya tembakan tersebut mengarah ke kawasan pemukiman dimana ada banyak anak-anak dan orang tua.
”Kami menyayangkan ada orang tua dan anak-anak yang dilarikan ke rumah sakit atau diungsikan akibat gas air mata,” kata Kepala Sekretariat Komnas HAM RI di Papua, Frits Ramandey, kepada Cenderawasih Pos, Kamis (16/10).
Namun ia menilai, tindakan yang dilakukan kepolisian adalah penanganan tindakan anarkis. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah diskresi, meski langkah tersebut mengakibatkan efek.
”Ketika terjadi caos, maka polisi tidak bisa membiarkan begitu saja. Harus mengambil tindakan diskersi, masalahnya, dampak diskersi itu menjadi luas. Misalnya tembakan gas air mata untuk mendorong pendemo bubar, dan efeknya adalah mata perih dan efek lainnya,” terangnya.

Menurutnya, polisi memang harus mengambil tindakan tersebut untuk menghentikan tindakan yang tidak diinginkan. Ia mengatakan bahwa, perlu ada pengetahuan bersama tentang penyampaian kebebasan berekspresi. Rujukannya adalah Undang-undang Nomor 9. Baik para pendemo maupun polisi, sebaiknya patuh kepada unsur yang diatur dalam dalam Undang-undang.
”Pendemo juga harus tahu bahwa kita memperjuangkan HAM namun tidak boleh menabrak HAM orang lain,” tegasnya. Frits pun menyoroti DPR dan MRP, yang menurutnya, lembaga tersebut terisolir dan menutup diri. Tidak membuka diri untuk menerima aspirasi para pendemo selama ini.