Totopong: Iket Kepala Sunda yang Jadi Simbol Identitas Budaya

3 hours ago 2
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Siapa tak kenal atau mendengar nama Dedi Mulyadi? Di adalah Gubernur Jawa Barat yang sejak menjabat sering mengeluarkan kebijakan kontroversial, seperti soal pendidikan di barak militer hingga syarat vasektomi bagi calon penerima bantuan sosial (Bansos).

Namun di luar kontroversi itu, ada satu tampilan visual yang menjadi ciri khas Dedi Mulyadi dan membedakan dari pemimpin daerah yang lain, yakni ikat (selanjutnya ditulis iket) kepala putih yang selalu membelit kepalanya. Kenapa Dedi Mulyadi seolah tak bisa lepas dari iket kepala khas Sunda itu?

Usut punya usut, nama iket kepala yang sering digunakan Dedi Mulyadi itu adalah Totopong. Iket kepala khas Sunda itu bukan sekadar pelengkap busana, melainkan bagian dari pesan budaya yang ingin ia sampaikan: bahwa menjadi pemimpin tak boleh tercerabut dari akar tradisinya. Bagi Dedi, totopong adalah simbol kesadaran akan jati diri dan kebijaksanaan dalam bertindak.

Totopong, yang dalam istilah Sunda merujuk pada kain iket yang dililitkan di kepala, memiliki filosofi mendalam. Dalam bukunya Iket Sunda: Filosofi dan Estetika Pakaian Adat Sunda (2011), Ajip Rosidi menjelaskan bahwa totopong bukan sekadar atribut fisik, melainkan lambang pengendalian diri dan ketertiban batin.

Inilah profil totopong Makuta Wangsa | youtube

Ia pun menuliskan kutipannya seperti ini: “Iket itu menahan, mengikat, dan membingkai pikiran agar tidak liar.”

Bentuk dan cara mengenakan totopong juga mengandung makna sosial. Seperti dijelaskan dalam buku Pakaian Adat Tradisional Jawa Barat karya Edi S. Ekajati (1995), terdapat beragam jenis iket yang menunjukkan status sosial atau fungsi pemakainya. Jenis “Makuta Wangsa”, misalnya, biasa dipakai oleh pemimpin atau tokoh masyarakat karena mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan, keteguhan, dan kebijaksanaan.

Konsistensi Dedi Mulyadi dalam memakai totopong bukan hanya bentuk kecintaan terhadap budaya Sunda, tetapi juga strategi untuk menghidupkan kembali simbol-simbol budaya yang mulai dilupakan. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa memakai totopong adalah bentuk perlawanan terhadap amnesia budaya di tengah derasnya modernisasi.

“Totopong ini bukan sekadar kain. Ia punya ruh, mengajarkan saya untuk tidak gegabah, untuk selalu mengingat asal-usul,” ujar Dedi dalam sebuah wawancara.

Seperti yang ditekankan Ajip Rosidi, selama totopong dikenakan dengan kesadaran akan makna dan nilainya, budaya Sunda tidak akan kehilangan nyawanya. Totopong menjadi pengingat bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan akar budaya. Begitulah kira-kira.  [Redaksi – berbagi sumber]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|