YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Ancaman penyakit leptospirosis kian nyata di Kota Yogyakarta. Data terbaru Dinas Kesehatan DIY mengungkap, sepanjang semester pertama 2025, terjadi lonjakan kasus yang signifikan dibanding tahun lalu, dengan tingkat kematian yang memprihatinkan.
Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie, menjelaskan hingga pertengahan 2025, terdeteksi 19 kasus leptospirosis di 11 kemantren. Dari angka tersebut, enam pasien dilaporkan meninggal dunia.
“Penyakit ini erat sekali kaitannya dengan lingkungan kumuh dan sanitasi yang buruk, karena penularannya melalui bakteri leptospira yang dibawa tikus. Baik di kota maupun desa, ada faktor risiko masing-masing,” jelas Pembajun saat dikonfirmasi, Kamis (10/7/2025).
Kasus kematian terjadi di wilayah Pakualaman, Gedongtengen, Wirobrajan, Jetis, serta dua kasus di Ngampilan. Sementara wilayah yang masih bebas dari kasus leptospirosis adalah Kemantren Kraton, Gondomanan, dan Danurejan.
Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Lana Unwanah, menambahkan, jumlah kasus tahun ini naik hampir dua kali lipat dibanding sepanjang 2024 yang mencatat hanya 10 kasus dengan dua korban meninggal dunia.
“Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan. Yang membuat fatal, sebagian besar pasien terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan karena gejalanya mirip penyakit lain,” kata Lana.
Gejala leptospirosis, lanjutnya, kerap dianggap ringan di awal, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot paha dan betis, mata memerah atau kuning, serta diare. Padahal, infeksi ini bisa berakibat fatal jika menyerang organ vital seperti ginjal.
“Kesadaran masyarakat untuk cepat memeriksakan diri masih rendah. Kalau sudah parah, peluang sembuh semakin kecil,” ucap Lana.
Selain persoalan perilaku hidup bersih, faktor lingkungan turut menjadi penyebab merebaknya leptospirosis. Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu, mengungkap, sebagian besar kasus ditemukan di permukiman yang kondisi kebersihannya buruk.
“Banyak rumah masih punya tumpukan barang bekas, sampah dibiarkan berserakan, atau sumur tidak tertutup. Ini menciptakan habitat ideal tikus,” ungkap Endang.
Tak hanya di pemukiman, risiko tinggi juga mengintai warga yang bekerja di lingkungan basah tanpa perlindungan memadai, seperti para pekerja kebersihan, petani, maupun penggerobak sampah.
Sementara itu, Kepala Bidang Perikanan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kota Yogyakarta, Sri Panggarti, mengingatkan bahwa leptospirosis termasuk penyakit zoonosis yang juga bisa menular antarhewan.
“Jaga kebersihan kandang hewan peliharaan juga sangat penting agar tak menjadi perantara penularan penyakit,” imbaunya.
Sri menambahkan, penanggulangan populasi tikus di wilayah kota menjadi tantangan tersendiri. Upaya “gropyok tikus” lebih efektif di area pertanian, sementara di pemukiman perlu strategi lain seperti penggunaan perangkap, racun, atau lem tikus.
Dinas Kesehatan DIY kini mengimbau masyarakat semakin waspada, terutama saat musim hujan ketika genangan air lebih sering terjadi. Warga diminta selalu mengenakan alat pelindung seperti sepatu bot saat beraktivitas di area basah, menjaga kebersihan lingkungan, serta segera memeriksakan diri jika mengalami gejala mencurigakan.
“Semakin cepat ditangani, risiko kematian bisa ditekan,” tegas Pembajun.
Pemerintah daerah pun didesak memperkuat upaya intervensi melalui edukasi, perbaikan sarana sanitasi, hingga pengawasan lingkungan demi mencegah meluasnya wabah leptospirosis di Kota Yogyakarta. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.