Dasar Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Dinilai Langgar Hukum, Lukai Hati Rakyat, dan Gelapkan Penggalan Sejarah

8 hours ago 3

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Masuknya nama Presiden ke-2 Republik Indonesia HM Soeharto dalam 40 nama yang diusulkan Kementerian Sosial ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK), untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, memantik penolakan publik.

Aktivis ’98 Aswan Jaya menilai, usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional bukan hanya menimbulkan kontroversi, tapi juga melanggar hukum, lukai hati rakyat, dan menggelapkan penggalan sejarah.

Aswan mengungkapkan,.Pasal 24 UU No 20 Tahun 2009 telah mengatur syarat seseorang memperoleh gelar Pahlawan Nasional, yakni WNI, berintegritas dan bermoral, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, tidak berkhianat terhadap bangsa dan negara, tidak pernah dipidana minimal lima tahun penjara.

Menurut Aswan, dalam hal tindak pidana korupsi mantan Presiden Soeharto, Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Nomor 140 PK/Pdt/2005 telah menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum. “Mengacu pada undang-undang dan putusan Mahkamah Agung tersebut, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional,” kata Aswan dalam siaran persnya kepada SumutPos.co, Senin (3/11/2025).

Dia juga menyebutkan, ada kemungkinan pertimbangan Kemensos dan Dewan Gelar yang dipimpin Menteri Kebudayaan Fadli Zon adalah pidato Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Paripurna MPR periode 2019-2024 pada Rabu (25/9/2024), yang menyampaikan keputusan MPR bahwa proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal 4 Tap MPR No XI/MPR/1998 telah dianggap selesai karena yang bersangkutan telah meninggal. “Pidato tersebut bukanlah produk hukum. Perlu diingat, sejak 2004, pasca amandemen konstitusi, MPR tidak lagi bisa mengeluarkan TAP MPR,” terangnya.

Aswan pun menegaskan, Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme masih ada dan belum dicabut. “Pasal 4 Tap MPR tersebut berbunyi, upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia,” bebernya.

Politisi PDI Perjuangan Sumut ini juga menegaskan, urusan bangsa ini dengan mantan Presiden Soeharto sesungguhnya belum selesai. Upaya mencari celah hukum dengan penyelesaian yang dipaksakan hanya akan menimbulkan masalah baru bagi bangsa ini.

“Akan lebih baik Presiden Prabowo fokus mewujudkan asta cita, menciptakan kepastian hukum, memberantas korupsi, agar ekonomi bisa segera kembali tumbuh dan membawa manfaat bagi rakyat. Menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanya akan memicu protes masyarakat dan berpotensi mengganggu program-program mendesak pemerintahan yang dipimpinnya,” tegas Aswan lagi.

Disisi lain, Aswan juga mengungkapkan, naiknya Soeharto sebagai presiden pada tahun 1967, selanjutnya berkuasa selama 32 tahun, telah menjadi kontroversi sejarah yang menginterupsi jalannya demokrasi. “Untuk membuka kembali ruang demokrasi, ratusan dan bahkan ribuan pengorbanan rakyat dan mahasiswa telah dilakukan sepanjang Soeharto berkuasa hingga akhirnya era reformasi telah kita nikmati,” sebutnya.

Dimasa pemerintahan Soeharto pun yang disebut era Orde Bar, lanjut Aswan, juga telah menandai sebuah era yang penuh dengan kekerasan, pelanggaran HAM dan tentunya merajalelanya praktek KKN yang mengakibatkan negara ini terjerumus pada krisis ekonomi dan keuangan yang sangat parah hingga saat ini belum juga dapat teratasi.

“Dengan berbagai catatan sejarah tersebut, maka tidak pantas Suharto mendapat gelar pahlawan, gelar tersebut dipastikan telah mencoret sejarah kelam sebuah bangsa, melukai hati rakyat Indonesia dan melanggar kesepakatan hukum atas segala tindakan kekerasan dan penghilangan begitu banyak nyawa rakyat, pelanggaran hukum atas tuduhan KKN yang tidak juga terselesaikan oleh penegak hukum,” tegasnya.

“Bangsa dan rakyat Indonesia menghormati semua peran jasa pemimpin dan rakyatnya, tetapi bangsa ini juga harus tetap berdiri pada kejujuran sejarah dan berdiri di atas keadilan hukum,” pungkasnya. (adz)

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|