Dikenai Tarif Impor Resiprokal oleh AS Lebih Tinggi dari Indonesia, Produk dari Vietnam hingga Kamboja Diprediksi Bakal Banjiri Indonesia

5 days ago 10
Web Berita Hot 24 Jam Cermat Terbaik
Sektor padat karya RI seperti pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki diperkirakan akan makin terpuruk akibat kebijakan tarif impor timbal balik atau ‘Reciprocal Tarrifs’ dari Amerika Serikat (AS) ke Indonesia sebesar 32 persen | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Produk-produk Vietnam, Kamboja, dan China diprediksi akan membanjiri pasar Indonesia setelah pengumuman tarif impor timbal balik yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap beberapa negara, termasuk Indonesia.

Sektor-sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja di Indonesia, seperti industri pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki, diperkirakan akan mengalami kesulitan akibat kebijakan tarif impor timbal balik atau reciprocal tariffs yang diberlakukan AS kepada Indonesia, yang mencapai 32 persen.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira, menjelaskan bahwa banyak brand internasional yang memiliki pasar besar di AS dan selama ini banyak bergantung pada Indonesia untuk pasokan barang. Pada 2024, sekitar 61,4 persen ekspor pakaian jadi Indonesia ditujukan untuk pasar AS, sementara alas kaki mencapai 33,8 persen. Namun, dengan tarif yang lebih tinggi, banyak brand internasional diprediksi akan mengurangi pesanan dari pabrik-pabrik Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia akan semakin dipenuhi dengan produk-produk dari Vietnam, Kamboja, dan China yang juga mengincar pasar alternatif. Tarif resiprokal untuk negara-negara tersebut berkisar pada angka yang lebih rendah dibandingkan Indonesia—China dikenakan tarif 34 persen, Vietnam 46 persen, dan Kamboja 49 persen.

Selain itu, Bhima juga mengingatkan bahwa masih ada peraturan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, yang belum direvisi. Peraturan ini sudah lama dinilai sebagai salah satu penyebab naiknya angka impor TPT (Tekstil, Pakaian Jadi, dan Alas Kaki). “Permendag 8/2024 harus segera direvisi agar ekspor Indonesia tidak semakin sulit, sementara impor semakin menekan industri tekstil dalam negeri,” ujar Bhima.

Untuk menghadapi tantangan ini, Bhima menyarankan agar Indonesia fokus pada peluang merelokasi pabrik dan memperkuat daya saingnya, bukan hanya sekadar bersaing berdasarkan tarif resiprokal yang lebih rendah dari negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja. Kunci utama terletak pada regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, dan infrastruktur industri yang lebih baik. “Pemerintah perlu memastikan kesiapan sumber daya manusia dan energi terbarukan untuk mendukung industri, karena insentif fiskal tidak akan cukup mengatasi masalah struktural,” tambahnya.

Bhima juga mencatat bahwa Bank Indonesia (BI) memiliki ruang untuk mengambil kebijakan moneter yang lebih fleksibel, seperti menurunkan suku bunga acuan untuk memberikan stimulus bagi sektor riil yang terdampak akibat kebijakan tarif ini.

Secara keseluruhan, penerapan tarif ini diperkirakan akan mengurangi volume ekspor Indonesia ke AS, terutama untuk produk-produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta komoditas pertanian dan perkebunan seperti minyak kelapa sawit, karet, dan hasil perikanan. Dengan biaya ekspor yang semakin tinggi, Indonesia mungkin akan menghadapi hambatan besar dalam mempertahankan daya saingnya di pasar global.

Penerapan tarif resiprokal ini juga akan memengaruhi komoditas-komoditas lainnya, menyebabkan terjadinya trade diversion dari pasar berbiaya rendah ke pasar dengan biaya lebih tinggi, yang akan berdampak pada penurunan produksi dan lapangan pekerjaan.

Dalam daftar negara yang dikenakan tarif ini, Indonesia menjadi salah satu yang terkena tarif lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Singapura, India, Filipina, dan Jepang, yang masing-masing memiliki tarif impor lebih rendah.  

www.tribunnews.com

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|