JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya terkait dengan kondisi bisnis perhotelan di tanah air.
Pasalnya, ketika para pelaku usaha perhotelan menambah kamar dan membangun hotel-hotel baru demi memenuhi permintaan pasar yang sebagian besar berasal dari instansi pemerintah, kini justru pemerintah pula yang menerapkan kebijakan efisiensi anggaran secara ekstrem. Kebijakan itu berdampak langsung pada penurunan okupansi dan mengakibatkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan.
Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani mengungkapkan kekecewaannya atas pernyataan sejumlah pejabat yang menyarankan pelaku industri hotel untuk mencari pasar alternatif di tengah badai krisis. Ia menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk pelimpahan tanggung jawab sepihak yang mengabaikan kenyataan di lapangan.
“Selama ini pengusaha hotel itu menambah kamar karena mengikuti pasar, dan pasar itu kebetulan datang dari pemerintah,” ujar Hariyadi, Sabtu (5/4/2025).
Ia menekankan, kontribusi belanja pemerintah terhadap tingkat hunian hotel sangat besar, yakni sekitar 40 persen secara nasional, dan bahkan bisa mencapai 70 persen di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, saat pemerintah secara tiba-tiba memangkas anggaran tanpa transisi yang jelas, industri hotel langsung terpukul hebat.
“Yang terjadi di kuartal pertama ini bukan hanya pemangkasan, tapi benar-benar nihil kegiatan. Itu yang membuat hotel collapse,” ujarnya.
Hariyadi mencontohkan kasus dua hotel di Bogor yang telah secara resmi melaporkan PHK massal. Meskipun belum ada data lengkap dari daerah lain, ia memperingatkan bahwa gelombang PHK berikutnya hanya tinggal menunggu waktu, apabila pola pembekuan kegiatan terus berlangsung hingga kuartal kedua.
PHRI menegaskan bahwa efisiensi seharusnya dilakukan secara terukur, bukan dengan menghentikan total kegiatan belanja negara. “Kalau pemerintah mau potong 50 persen, itu masih bisa diterima, asal ada realisasi spending. Ini yang terjadi malah nol. Itu bukan efisiensi, tapi pembekuan,” kata Hariyadi.
Lebih jauh, ia juga menyoroti lambannya pemerintah dalam membuka pasar pariwisata internasional. Kebijakan pencabutan visa bebas dinilai kontraproduktif, terutama ketika negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam telah lebih dulu memulihkan sektor wisatanya pasca-pandemi.
“Visa bebas malah dicabut. Sementara negara lain sudah membuka diri dan mendatangkan wisatawan. Di kita justru mundur,” ujarnya.
Hariyadi mengingatkan, bahwa pembangunan hotel selama ini tidak dilakukan secara serampangan. Banyak hotel berdiri justru karena menyesuaikan kebutuhan forum-forum pemerintahan, pelatihan, dan koordinasi antar-lembaga yang lazim menggunakan fasilitas hotel.
“Ketika hotel-hotel kami dibangun, itu berdasarkan kebutuhan dan permintaan dari pemerintah sendiri,” tegasnya.
Meski telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, PHRI mengaku belum mendapatkan tanggapan konkret. Ia berharap pemerintah segera mengevaluasi kebijakan yang dinilai terlalu drastis dan mematikan ekosistem usaha.
“Masa iya pemerintah gak ada kegiatan sama sekali? Koordinasi antar-lembaga itu juga kan butuh forum. Hotel-hotel itu tempatnya,” ungkapnya.
PHRI menyatakan akan terus memantau dinamika di berbagai daerah dan tidak menutup kemungkinan akan menggelar konferensi pers apabila ditemukan laporan PHK baru dalam skala besar. “Kalau ada laporan resmi lain dari daerah, pasti kami sampaikan ke publik,” ujar Hariyadi.
Sementara itu, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Rizki Handayani Mustafa, menyarankan agar pelaku usaha hotel lebih adaptif dan kreatif dalam menghadapi perubahan.
“Kami yakin pelaku industri pariwisata di sektor perhotelan bisa menghadapi perubahan situasi yang penuh tantangan saat ini,” ujarnya.