JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Indonesia hari ini riuh oleh informasi, tetapi miskin pemahaman sejarah. Potongan masa lalu beredar liar di media sosial, dibungkus sensasi, glorifikasi, hingga teori konspirasi. Di tengah situasi itu, sejarah yang utuh, kritis, dan manusiawi justru tertinggal jauh. Kondisi inilah yang menjadi latar kegelisahan lahirnya buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global, yang resmi diperkenalkan kepada publik dalam acara soft launching bertepatan dengan peringatan Hari Sejarah, 14 Desember.
Acara yang digelar di Gedung Plaza Insan Berprestasi, Kompleks Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Jakarta, itu dibuka langsung oleh Menteri Kebudayaan RI, Dr. Fadli Zon, serta dihadiri jajaran Kementerian Kebudayaan dan Ketua Komisi X DPR RI. Dalam forum tersebut, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. tampil mewakili editor umum, para editor jilid, sekaligus seluruh penulis buku.
Pesan yang disampaikan Prof. Singgih yang juga Ketua DPW LDII Jateng tidak ringan, bahkan cenderung mengganggu zona nyaman: sejarah Indonesia perlu ditulis ulang secara konseptual, atau ia akan ditinggalkan generasinya sendiri.
“Bangsa yang tidak menguasai narasi sejarahnya sendiri akan hidup dari ingatan yang diproduksi orang lain,” tegas Prof. Singgih.
Pernyataan itu bukan retorika. Di era algoritma digital, sejarah yang lambat dan kaku kalah cepat dari hoaks dan pseudo-history. Ketika sejarah gagal berbicara, identitas kebangsaan menjadi rapuh.
Sejarah yang Jinak, Bangsa yang Rentan
Menurut Prof. Singgih, persoalan utama sejarah Indonesia bukan terletak pada kekurangan data atau arsip, melainkan keberanian intelektual. Selama bertahun-tahun, sejarah disajikan dalam kerangka negara-sentris yang rapi, formal, dan aman. Negara tampil sebagai aktor utama, sementara rakyat hanya figuran.
Kelompok perempuan, masyarakat adat, minoritas, komunitas perbatasan, hingga diaspora nyaris tak mendapat ruang yang adil. Sejarah seperti ini mungkin stabil secara politik, tetapi miskin secara kemanusiaan.
“Sejarah yang terlalu jinak gagal membangun rasa senasib. Padahal, rasa senasib itulah fondasi nasionalisme Indonesia,” ujarnya.
Akibatnya, sejarah berubah menjadi hafalan, bukan pemahaman. Saat sejarah kehilangan daya reflektifnya, ruang kosong pun terbuka dan dengan cepat diisi oleh narasi manipulatif yang diproduksi untuk kepentingan jangka pendek.
Indonesia dan Dunia: Tak Pernah Terpisah
Buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global mengambil posisi tegas: Indonesia tidak pernah hidup dalam ruang hampa. Sejak awal, Nusantara adalah simpul dunia yang dihubungkan oleh jalur maritim, perdagangan internasional, migrasi, agama, kolonialisme, hingga ekonomi digital.
“Kalau sejarah Indonesia dibaca tanpa laut dan tanpa jaringan global, itu bukan sejarah Indonesia,” kata Prof. Singgih.
Karena itu, buku ini secara sadar menempatkan Indonesia dalam arus sejarah global. Bukan untuk mengecilkan peran nasional, melainkan untuk menunjukkan bahwa kebangsaan Indonesia justru lahir dari interaksi, negosiasi, dan konflik dengan dunia luar.
Melawan Glorifikasi Menghadirkan Kejujuran
Di tengah maraknya romantisasi masa lalu, buku ini memilih jalur yang tidak populer: kejujuran sejarah. Keberhasilan bangsa diakui, tetapi kegagalan juga dibuka apa adanya. Tanpa itu, sejarah hanya berubah menjadi mitologi yang meninabobokan.
“Pancasila bukan alat untuk menutup-nutupi sejarah, tetapi kompas moral untuk membacanya secara adil,” jelas Prof. Singgih.
Pendekatan ini menjadi antitesis terhadap pseudo-history yang gemar menyederhanakan masa lalu menjadi kisah hitam-putih: pahlawan sempurna versus musuh abadi.
Proyek Peradaban, Bukan Sekadar Buku
Disusun dalam sepuluh jilid, buku ini menelusuri perjalanan panjang Indonesia, mulai dari manusia awal, jaringan maritim Nusantara, proses Islamisasi, kolonialisme, pergerakan nasional, kemerdekaan, Orde Baru, Reformasi, hingga tantangan global kontemporer.
Namun bagi Prof. Singgih, proyek ini jauh melampaui ambisi akademik.
“Ini bukan sekadar proyek buku. Ini proyek peradaban,” ujarnya.
Di tengah dunia yang berubah terlalu cepat, sejarah bukan kemewahan intelektual. Ia adalah kebutuhan strategis bangsa. Tanpa sejarah yang hidup, Indonesia berisiko menjadi bangsa yang ramai di masa kini, tetapi kehilangan arah di masa depan.
“Kalau sejarah terus kita buat diam,” tutup Prof. Singgih, “jangan heran jika kebangsaan ikut menghilang.” Aris Arianto
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

1 week ago
3


















































