JK Tegaskan 4 Pulau Itu Milik Aceh, Dasarnya UU 1956 Bukan KEPMEN

2 weeks ago 26

SUMUTPOS.CO – Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menegaskan bahwa empat pulau yang kini menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara merupakan bagian sah dari wilayah Aceh. Ia menyatakan, dasar hukum yang mengikat adalah Undang-Undang, bukan Keputusan Menteri.

“Tidak mungkin itu dipindahkan dengan Kepmen, karena Undang-Undang lebih tinggi daripada Kepmen. Kalau mau mengubah itu, harus dengan Undang-Undang juga,” tegas JK dalam konferensi pers di kediamannya, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).
Empat pulau yang dipersoalkan adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan. Selama ini keempatnya tercatat berada di bawah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

JK menambahkan, selain secara administratif, aktivitas perpajakan di pulau-pulau tersebut juga menunjukkan bahwa wilayah itu berada dalam otoritas Aceh. Warga pulau masih membayar pajak ke Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. “Selama ini orang sana, pulau itu, bayar pajaknya ke Singkil. Ada, nanti ada teman yang akan membawakan bukti pajak dia ke Singkil,” ujar JK. Ia menyebut bukti tersebut penting untuk menegaskan keabsahan wilayah, terutama dalam konteks perbedaan tafsir administratif antara Aceh dan Sumatera Utara.

JK turut merujuk pada Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menyatakan bahwa batas wilayah Aceh mengacu pada peta dan ketentuan per 1 Juli 1956. “Jadi itulah kenapa keluar Pasal 114 itu, yang mengatakan perbatasan adalah sesuai dengan ketentuan tahun 1956. Ketentuan itu Undang-Undang,” katanya menegaskan.

JK menilai, dalam urusan batas wilayah yang menyangkut konstitusi dan sejarah, pemerintah harus berpegang pada aturan hukum tertinggi dan menghormati kesepakatan yang sudah ada sejak lama.

Sementara, Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala Humam Hamid menduga, keputusan Mendagri menetapkan 4 pulau tersebut menjadi milik Sumatera Utara, kental dorongan teknokratis dan manajemen negara untuk merapikan peta berdasarkan pendekatan rupabumi atau delineasi spasial yang baru.

“Berdasarkan tafsir ulang ‘negara’ terhadap batas wilayah yang muncul belakangan,” kata Humam. Humam Hamid menyatakan, dalam sejarahnya, tidak ada ambiguitas soal empat pulau tersebut. Menurut dia, empat pulau itu telah lama berada dalam pengelolaan administratif Kabupaten Aceh Singkil.

Sosiolog asal Samalanga, Aceh Utara ini menjelaskan, apa yang dia sampaikan bukan hanya narasi lokal. Sesuai dengan fakta lapangan, kata Humam, di Pulau Panjang, pulau terbesar dari keempat pulau itu, ada prasasti, tugu, musala, dan dermaga boat untuk nelayan. Humam mengatakan, pembangunan di sana menggunakan APBD Kabupaten Aceh Singkil.

Humam menyebutkan, sesuai dengan peta topografi milik TNI Angkatan Darat, empat pulau tersebut juga termasuk dalam zona Aceh. Peta topografi TNI Angkatan Darat itu kerap dijadikan acuan dalam penyusunan batas wilayah pasca-Orde Baru. “Dalam penggambaran teritorial militer yang lazim digunakan dalam kerangka pertahanan nasional, pulau-pulau itu tidak pernah dipetakan dalam konteks Sumatera Utara,” kata Humam.

Pada masa Hindia Belanda, lanjut Humam, wilayah pesisir barat Sumatera secara umum dipetakan secara longgar. Peta-peta kolonial cenderung menggambarkan daratan besar secara jelas. Namun banyak pulau kecil tidak diberi nama, atau hanya diberi penanda umum, kecuali yang dekat dengan mercusuar untuk navigasi kelautan.

Sejak masa itu, kawasan pesisir Singkil dan sekitarnya telah memiliki ikatan sosial-ekonomi dengan pulau-pulau di seberangnya, termasuk dalam praktik pelayaran rakyat dan penggunaan perairan untuk menangkap ikan serta berlindung dari badai. Humam menyatakan eksistensi imajinasi kolektif masyarakat pesisir di Singkil sampai ke Sibolga, itu adalah kawasan Aceh.

Menurut Humam, pada 1992, ada penandatanganan kesepahaman antara Gubernur Aceh saat itu, Prof Dr Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar soal batas administrasi di wilayah Singkil dan Tapanuli. Acara itu disaksikan Menteri Dalam Negeri Rudini. “Kesepahaman kedua gubernur itu berangkat dari semangat koeksistensi dan saling menghargai ruang administratif masing-masing, bukan saling tumpang-tindih,” kata Humam.

Menurut dia, polemik empat pulau yang saat ini muncul tidak memperhatikan rekam jejak sosial dan perjanjian yang pernah ada. Humam menyatakan pemerintah pusat tidak bisa mendasarkan kebijakannya pada narasi “sengketa pulau” dari peta rupa bumi seolah-olah ada ambiguitas sejak 1928. “Ini membuat dia kehilangan konteks sejarah,” katanya.

Melihat lini masa sejarah empat pulau tersebut, akademikus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh, Muhammad Alkaf mengatakan, selama ini tidak pernah ada isu antara Aceh dan Sumut. Dosen ilmu politik ini menduga klaim empat pulau ini panas karena ada memori kolektif lama yang terpendam soal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tegangannya dengan pemerintah pusat.

“Orang GAM yang sudah berdamai dengan peta pusat itu berpikir: mereka telah mengganti obsesi untuk merdeka dengan menerima otonomi khusus, tapi tiba-tiba dalam perjalanannya, kok bahasanya dicaplok, gitu loh,” kata Alkaf dihubungi pada Kamis, 12 Juni 2025.

Alkaf pun mengingatkan, GAM yang dipimpin Hasan Muhammad di Tiro sejak 1976 muncul atas keresahan warga Aceh yang tidak sejahtera. Salah satu penyebab munculnya gerakan itu, kata dia, adalah pengelolaan sumber daya alam oleh pusat. Adapun GAM membubarkan sayap militernya tak lama setelah Perjanjian Perdamaian Helsinki dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. (trb/tmp/bbs/adz)

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|