JAKARTA, SUMUTPOS.CO– Anggota DPD RI asal Sumatera Utara (Sumut) Pdt Penrad Siagian, meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera mengambil langkah konkret dalam penyelesaian konflik agraria yang membelit masyarakat Simpang Gambus, Kabupaten Batubara, Sumut. Permintaan ini disampaikan langsung saat Penrad menemui Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono di kantor Kementerian ATR/BPN pada Senin (2/6/2025).
Penrad menegaskan, dirinya telah mendampingi masyarakat Simpang Gambus jauh sebelum menjabat sebagai senator di DPD RI. Konflik ini, menurutnya, persoalan lama yang berakar sejak era 1960-an, ketika masyarakat mengalami pengambilalihan lahan secara paksa, yang kemudian berujung pada pengusiran.
“Persoalan Simpang Gambus ini saya dampingi jauh sebelum saya menjadi anggota DPD RI. Jadi kasus ini sebenarnya sudah lama sekali,” kata Penrad dalam keterangan resminya, Selasa (3/6/2025).
Ia menjelaskan, masyarakat telah menyampaikan berbagai dokumen dan kronologi sejarah yang lengkap, termasuk bukti penguasaan dan keberadaan kampung di atas lahan yang kini dikuasai PT Socfindo. Berkas-berkas tersebut telah disampaikan dalam beberapa kali kunjungan ke Kementerian ATR/BPN.
“Kita tahu betul bagaimana pengambilalihan tanah masyarakat, termasuk Simpang Gambus, terjadi di tahun 60-an. Dalam kronologi yang kami serahkan ke Kementerian, lengkap semuanya, termasuk sejarah perkampungan di situ. Jadi penting untuk melihat kembali bukti-bukti sejarah itu,” lanjutnya.
Penrad juga menyinggung hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPD RI dan pihak terkait, yang telah menghasilkan kesepakatan agar pembaruan Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo dihentikan sementara, hingga proses penyelesaian konflik dengan masyarakat dituntaskan.
“Kedatangan saya kemari karena ada dokumen negara, hasil RDP yang kita tanda tangani. Maksudnya, kita sepakat menghentikan pembaruan HGU PT Socfindo sampai sengketa ini diselesaikan bersama masyarakat,” ujarnya.
Ia menyoroti ketimpangan informasi di lapangan. Menurutnya, masyarakat tidak memahami permainan-permainan lahan yang dilakukan diam-diam, tetapi mereka memiliki data sejarah yang otentik.
Penrad menekankan, masyarakat Simpang Gambus telah berjuang dengan cara damai, tetapi sering kali dianggap tidak ada konflik hanya karena mereka tidak melawan secara fisik. “Sejak tahun 60-an mereka diusir. Di tahun itu pun tidak semua masyarakat sekolah dan tidak mengerti hal-hal seperti ini dan kemudian diusir hingga di-PKI-kan. Semua orang takut. Itu sebabnya saya ajak semua pihak melihat sejarahnya,” tambahnya.
Ia menegaskan, perjuangan masyarakat adalah bentuk mempertahankan martabat. Karena itu, ia meminta negara hadir secara adil dengan membentuk tim khusus yang melibatkan semua pihak untuk menyelesaikan konflik agraria ini secara menyeluruh.
“Jangan karena masyarakat berjuang dengan martabat dan damai, lalu dianggap tidak ada konflik. Mari kita lihat sejarahnya dan data mereka. Kami berharap, mari kita membentuk tim untuk menyelesaikan persoalan ini,” tegas Penrad.
Komitmen Kementerian ATR/BPN
Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono, menyambut baik kedatangan Penrad dan menyatakan, persoalan Simpang Gambus sudah menjadi perhatian kementeriannya.
Ia menegaskan, Kementerian ATR/BPN akan segera menindaklanjuti dan melakukan pembahasan lanjutan untuk menangani konflik tersebut. “Masalah ini sudah menjadi perhatian kita dan akan kita kawal. Dengan kunjungan Pak Pendeta, kita akan segera menindaklanjuti untuk melakukan pembahasan kembali,” ujar Iljas.
Ia menegaskan, sebagai institusi publik, BPN wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang disampaikan melalui lembaga representatif seperti DPD RI. Meskipun BPN berpegang pada data yang tercatat, Iljas mengakui pentingnya memperhatikan data sejarah dan fakta lapangan yang selama ini tidak tercatat dalam sistem pertanahan formal.
“Data yang tidak tercatat mungkin tidak terekam di kita, tetapi itu menjadi referensi penting bahwa masalah ini muncul sejak lama. Karena itu, kami selalu menyandingkan data dari masyarakat dengan data kami,” jelasnya.
Iljas juga menyampaikan bahwa persoalan di Simpang Gambus memerlukan pendekatan yang lebih dari sekadar normatif. Menurutnya, penyelesaian harus dilakukan secara terintegrasi, dengan mempertimbangkan aspek sosiologis dan empiris yang berkembang di masyarakat.
“Saya menyarankan agar lahan 600 hektare itu di-enklave dulu sambil menunggu penyelesaian tuntas. Dengan begitu, pendekatannya bukan hanya normatif, tapi juga empiris dan sosiologis. Karena kalau langsung diperpanjang, ini akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat,” ujarnya.
Ia menekankan perlunya duduk bersama dengan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat agar persoalan ini tidak terus bergulir tanpa solusi yang jelas. “Masyarakat menunggu kepastian. Maka dari itu, kita perlu duduk bersama-sama dengan semua pihak agar persoalan ini selesai,” pungkasnya. (adz)