JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pengamat politik Rocky Gerung menyebut telah terbentuk jarak psikologis antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka. Jarak itu, menurut Rocky, lahir dari perbedaan karakter, pengetahuan, dan sikap politik antara keduanya.
“Memang mulai terbaca bahwa ada jarak, mulai ada jarak psikologis. Dan jarak itu pasti terjadi karena perbedaan karakter, perbedaan pengetahuan, perbedaan mental, perbedaan sikap antara Presiden dan Wakil Presiden,” ujar Rocky dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis (8/5/2025).
Menurut Rocky, relasi antara Prabowo dan Gibran memang terbentuk secara politis melalui mekanisme pemilu. Namun setelah terpilih, relasi tersebut menuntut kerja sama konstitusional yang rapi dan berbasis pada pembagian tugas sesuai aturan.
“Presiden menjalankan seluruh tugasnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempercepat kesejahteraan. Sementara Wakil Presiden membantu, bukan mengambil kebijakan,” ujar Rocky.
Namun, ia menilai Gibran justru tampak ingin mencuri perhatian publik dengan membuat manuver-manuver sendiri tanpa menunggu instruksi presiden. Salah satu contoh yang disorot Rocky adalah peluncuran kanal pengaduan ‘Lapor Mas Wapres’.
“Kalau Gibran tahu bahwa tugas dia hanyalah menunggu order presiden, maka dia tidak boleh mengambil inisiatif. Tapi kelihatan ada upaya mencari sensasi,” kata Rocky.
Rocky bahkan menyebut langkah Gibran itu lebih bertujuan mengundang kamera ketimbang menyodorkan solusi. Ia menyebut Gibran seperti ketagihan sorotan media.
“Tugas wapres itu membantu menyodorkan konsep, tapi karena nggak mampu, maka dia mencari-cari cara supaya kamera mengikuti dia terus,” ujarnya tajam.
Rocky menilai, inisiatif seperti ‘Lapor Mas Wapres’ seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat fungsi pengawasan internal sudah ada di setiap kementerian melalui inspektorat jenderal.
“Kan sudah ada inspektur jenderal di setiap kementerian, ngapain mesti lapor ke wapres?” sindir Rocky.
Ia menutup analisanya dengan menyatakan bahwa ketegangan psikologis yang kini mulai terbaca bukan lagi sekadar dinamika pasca-pemilu, melainkan pertanda kegelisahan dalam relasi kekuasaan di tingkat tertinggi pemerintahan.