MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sengketa Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) atas empat pulau yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, akhirnya diputuskan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang diterbitkan pada 25 April 2025, keempat pulau kecil di Samudera Hindia itu resmi ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara sekaligus anggota Komisi XIII DPR RI Rapidin Simbolon, mengkritik kebijakan Kemendagri tersebut. Menurut Rapidin, kebijakan tersebut diambil tanpa melalui kajian komprehensif maupun konsultasi dengan pemerintah daerah yang terdampak.
“Ini kebijakan yang menurut saya tidak memiliki urgensi yang jelas. Tidak ada kajian, tidak ada konsultasi, dan tidak ada dasar hukum yang kuat,” kata Rapidin saat dihubungi wartawan melalui sambungan telepon, Jumat (13/6).
Menurut Rapidin, kebijakan Mendagri ini melanggar UU No 14 tahun 1999, terkait pemekaran Kabupaten Aceh Singkil. “Saya sangat menyayangkan tindakan Mendagri yang memutuskan sepihak tanpa ada dasar yang jelas, memberikan 4 pulau di Aceh Singkil untuk Sumatera Utara,” ucapnya lagi.
Ia menilai, kebijakan tersebut berisiko menimbulkan polemik dan konflik baru di tengah masyarakat Aceh dan Sumut. “Keduanya sama-sama berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, toh negara kita adalah NKRI. Tindakan Mendagri ini seakan membangunkan masa lalu yang tidak baik,” ujarnya.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Utara II itupun mencurigai adanya potensi-potensi yang bisa menjadi tujuan kompleks terkait perpindahan tersebut. “Saya curiga, jangan-jangan wilayah ini menyimpan potensi tambang yang besar dan sedang dibidik untuk kepentingan tertentu, termasuk ekspor ilegal. Jika benar demikian, ini bukan sekadar kebijakan wilayah, melainkan persoalan yang jauh lebih serius,” tegasnya.
Sebagai warga dan mewakili Provinsi Sumatera Utara, ia menegaskan tidak setuju dengan perpindahan empat pulau tersebut ke wilayah Sumut. Dia pun menyarankan agar Pemprov Sumut untuk lebih fokus membangun daerahnya dengan terobosan-terobosan baru. “Sebaiknya Pemprov Sumut berkonsentrasi membangun Sumut dan membuat terobosan pembangunan meski dengan APBD yang sangat terbatas, dan tidak membuat gejolak di masyarakat yang tidak penting,” tandasnya.
Berbeda dengan Rapidin, anggota DPR RI asal Sumut lainnya, Maruli Siahaan menilai, perpindahan keempat pulau dari Aceh Singkil ke Tapanuli Tengah merupakan hal yang wajar dan sudah menjadi keputusan tetap dari Pemerintah Pusat. “Kalau sudah keputusan yang dikeluarkan Kemendagri, ya bagaimana nanti cara pengelolaanya saja. Apakah Sumut (sendiri) atau dikelola bersama dengan Aceh,” katanya saat dimintai pendapatnya, Jumat (13/6).
Politisi Partai Golkar tersebut mengatakan, pulau tersebut harus butuh pengawasan yang serius dari Pemerintah Daerah yang memilikinya. “Namanya pulau, itukan harus ada yang mengawasi, dan harus ada pemeliharaan. Ya, kalau itu semua masuk ke wilayah Sumut, tidak ada masalah,” ucap Maruli.
Dia pun berharap agar Kemendagri juga melihat kembali tapal batas keempat pulau tersebut. “Harus dilihat dulu, tapal batas itu di bagian wilayah mana? Jangan sampai sudah diambil alih, terus ditelantarkan. Pastinya di sana juga ada penduduknya, harus diperhatikan juga kesejahteraan penduduknya,” tandasnya.
Punya Potensi Kandungan Migas Luar Biasa
Menyikapi potensi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi (Blok Migas) di sekitar empat pulau tersebut, ahli pertambangan dari Universitas Syiah Kuala (USK) Provinsi Aceh Teuku Andika Rama Putra menuturkan, dari struktur alam bawah laut di sekitar lokasi Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang berpotensi mengandung sumber daya minyak dan gas (migas). Ia menyebut, ada ciri yakni cekungan di bawah laut yang biasa ditemukan pada lokasi pertambangan migas.
“Di mana di bawah laut ada cekungan besar sebagaimana kuali atau seperti sumur dalam, itu berpotensi kandungan cadangan migas melimpah. Kondisi seperti itulah biasanya dilakukan survei migas” tutur Dosen Teknik Pertambangan USK yang juga tenaga pengajar di Universitas Sains Malaysia tersebut.
Andika mencontohkan perairan laut di antara daratan Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat dan Kepulauan Simeulue, Kabupaten Simeulue, yang mempunyai cekungan seperti jurang dinding diantara dua pulau. Hasil survei menunjukkan ada cadangan migas melimpah di kedalaman bawahnya.
“Mungkin juga dari kondisi daratan bisa dianalisa kemungkinan potensi minyak atau gas lokasi tersebut. Setelah dilakukan survei, lalu melakukan pengeboran untuk mengambil bahan dalam tanah untuk diperiksa pada laboratorium,” katanya.
Hasil penafsiran ilmiah tersebut baru dianalisa oleh tim teknik apakah ada sumber daya alam migas atau bagaimana terkandung di dalamnya. Itu sangat teknik dan harus selektif jangan sampai gagal survei. “Kondisi alam bawah laut dan lokasi garis patahan lempeng, ada potensi sumber kandungan migas. Namun survei yang bisa menafsirkan itu” tambah Dosen Senior USK itu.
Sementara Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) Nasri Djalal mengatakan, empat pulau itu belum pasti memiliki kandungan Migas yang ekonomis. Nasri mengakui, empat pulau yang sedang menjadi polemik itu berdekatan dengan wilayah eksplorasi migas yang dilaksanakan Conrad Asia Energy (blok Singkil). “Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh (OSWA)” kata Nasri, Jumat (13/6).
Meski berdekatan, kata Nasri, keempat pulau tersebut tidak termasuk ke dalam wilayah kerja (WK) OSWA yang berada dalam kewenangan BPMA. Kemudian, lanjut dia, sejauh ini di empat pulau tersebut juga belum terdapat cakupan data seismic, sehingga proses evaluasi potensi migas masih belum bisa dilakukan secara komprehensif.
Karena itu, BPMA mendorong adanya survei awal dan akuisisi data seismik agar potensi migas pada empat pulau tersebut bisa diidentifikasi secara lebih jelas. “Prinsip keberlanjutan dan konservasi tetap menjadi dasar dalam setiap langkah pengelolaan sumber daya,” tandasnya.
Terkait lokasinya yang dekat dengan Blok Migas OSWA, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengaku tidak mengetahui adanya potensi kekayaan alam minyak dan gas pada empat pulau tersebut Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah (Adwil) Kemendagri, Safrizal Sakaria Ali mengatakan, konsen dan pekerjaan dari tim pembakuan rupabumi bukan menentukan potensi adanya kekayaan migas.
“Kami tidak tahu-menahu bahwa ada potensi migas segala macam, (karena) tidak merupakan konsen dari tim pembakuan rupabumi karena betul-betl berdasarkan standar yang dibangun,” kata Safrizal dalam pemaparannya kepada awak media di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat pada Rabu (11/6) lalu.
Sebab, menurut dia, kewenangan terkait tambang dan usaha ekstraktif adalah kewenangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Safrizal menegaskan, Kemendagri hanya bertugas memastikan wilayah administrasi darat dan pulau sesuai dengan undang-undang.
Tidak Berpenduduk
Dalam kesempatan yang sama, Safrizal mengatakan, keempat pulau yang diperebutkan tersebut tidak berpenduduk. “Karena ini statusnya dalam Permendagri sebagai pulau kosong, tidak berpenghuni, tak berpenduduk namanya,” kata Safrizal.
Kemudian, Safrizal mengungkapkan kondisi terkini keempat pulau tersebut berdasarkan hasil survei lokasi pada Juni 2022. Menurut dia, Pulau Panjang yang memiliki luas 47,8 Hektare tidak berpenduduk. Meskipun, ditemukan dermaga yang dibangun pada 2015 dan tugu batas wilayah oleh Pemerintah Provinsi Aceh pada 2007. Selain itu, terdapat juga rumah singgah dan mushola yang dibangun sekitar 2012 oleh Pemda Aceh Singkil dan makam Aulia.
Demikian juga, Pulau Mangkir tidak berpenghuni. Di pulau dengan luas 6,15 hektare itu hanya ditemukan tugu yang dibangun Pemda Aceh pada 2018.
Kondisi serupa juga terlihat di Pulau Mangkir Besar. Pulau dengan luas 8,16 hektare itu tidak berpenghuni dan tidak ada aktivitas apapun di pulau tersebut, dan hanya terdapat tugu batas Pemprov Aceh.
Sementara itu, Pulau Lipan kondisinya hampir bisa dikatakan hilang karena kenaikan muka air laut. Safrizal mengungkapkan, temuan Kemendagri menyebut, pulau itu luasnya hanya 0,38 hektare dan berupa daratan pasir yang tidak berpenghuni.
“Dari hasil pemantauan tim di Pulau Lipan ditemukan data dan fakta bahwa Pulau Lipan berupa daratan pasir, dan saat pasang tertinggi pukul 9.25 WIB pulau dalam kondisi tenggelam,” terang Safrizal.
Jika merujuk pada ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos) terkait kriteria pulau, maka Pulau Lipan sudah tidak bisa disebut sebuah pulau karena menghilang saat air pasang. Padahal, data 2007 dari citra satelite, Pulau Lipan masih memiliki daratan bahkan punya lahan hijau yang ditumbuhi pepohonan. Namun kini pepohonan sudah menghilang. (bbs/san/adz)