Kisah Penjaga Dapur Keluarga yang Setiap Hari Berjibaku dengan Kencangnya Angin Laut
Di balik kesegaran ikan merah yang disajikan di meja makan, ada kisah perjuangan tak terlihat. Merekadari Pulau Liki dan Armo. Setiap pagi, berlayar menembus laut. Ikan terjual, ternyata tugas belum selesai.
Laporan : Robert Mboik-Sarmi
Di sudut timur laut Papua, tersembunyi sebuah kota kecil yang tenang namun kaya akan cerita. Namanya Sarmi. Di kota yang dijuluki negeri seribu ombak ini memiliki banyak potensi sumber daya alam. Dan pastinya sektor perikananan laut menjadi sesuatu yang paling menjanjikan. Ikan kakap merah salah satunya. Hanya ini bukan sekadar komoditas laut, tapi juga denyut nadi kehidupan masyarakat lokal pesisir.
Setiap hari menjadi pemandangan yang biasa jika orang hilir mudik menggotong ikan merah. Itu bukanlah hal baru melainkan menjadi sesuatu yang lumrah. Namun siapa sangka, dibalik proses ikan – ikan ini sampai ke meja makan ternyata butuh evort yang tak mudah. Setiap pagi, saat matahari belum sepenuhnya naik, sekelompok perempuan Papua atau mama – mama Papua, mulai sibuk menuju tambahan perahu yang disebut Doro.
Disitulah mama – mama papua yang berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan memulai peruntunganya. Doro, bukan pelabuhan megah. Bentuknya hanya sebatas tempat tambatan perahu nelayan sejak dulu. Jalur tambatan itu terhimpit oleh hamparan karang yang terlihat sejajar dan hanya akan terlihat jika air sedang surut.
Disitulah satu satunya pintu masuk dan keluar menuju dua pulau diseberang kota Sarmi, Liki dan Armo, dua pulau yang terlihat kecil dan jelas dari pesisir Kota Sarmi. Perempuan-perempuan ini adalah penjaga dapur keluarga, sekaligus motor ekonomi rumah tangga nelayan lokal. Salah satunya adalah Inggelina Deomanser usianya sekitar 40 tahun.
Mama Inggelina bersal dari Kampung Takar, Pantai Timur Sarmi, kini dia menetap bersama keluarganya dipulau Liki. Dia dan mama Papua lainya setiap hari menjual ikan hasil tangkapan di kota Sarmi.
Kisah Penjaga Dapur Keluarga yang Setiap Hari Berjibaku dengan Kencangnya Angin Laut
Di balik kesegaran ikan merah yang disajikan di meja makan, ada kisah perjuangan tak terlihat. Merekadari Pulau Liki dan Armo. Setiap pagi, berlayar menembus laut. Ikan terjual, ternyata tugas belum selesai.
Laporan : Robert Mboik-Sarmi
Di sudut timur laut Papua, tersembunyi sebuah kota kecil yang tenang namun kaya akan cerita. Namanya Sarmi. Di kota yang dijuluki negeri seribu ombak ini memiliki banyak potensi sumber daya alam. Dan pastinya sektor perikananan laut menjadi sesuatu yang paling menjanjikan. Ikan kakap merah salah satunya. Hanya ini bukan sekadar komoditas laut, tapi juga denyut nadi kehidupan masyarakat lokal pesisir.
Setiap hari menjadi pemandangan yang biasa jika orang hilir mudik menggotong ikan merah. Itu bukanlah hal baru melainkan menjadi sesuatu yang lumrah. Namun siapa sangka, dibalik proses ikan – ikan ini sampai ke meja makan ternyata butuh evort yang tak mudah. Setiap pagi, saat matahari belum sepenuhnya naik, sekelompok perempuan Papua atau mama – mama Papua, mulai sibuk menuju tambahan perahu yang disebut Doro.
Disitulah mama – mama papua yang berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan memulai peruntunganya. Doro, bukan pelabuhan megah. Bentuknya hanya sebatas tempat tambatan perahu nelayan sejak dulu. Jalur tambatan itu terhimpit oleh hamparan karang yang terlihat sejajar dan hanya akan terlihat jika air sedang surut.
Disitulah satu satunya pintu masuk dan keluar menuju dua pulau diseberang kota Sarmi, Liki dan Armo, dua pulau yang terlihat kecil dan jelas dari pesisir Kota Sarmi. Perempuan-perempuan ini adalah penjaga dapur keluarga, sekaligus motor ekonomi rumah tangga nelayan lokal. Salah satunya adalah Inggelina Deomanser usianya sekitar 40 tahun.
Mama Inggelina bersal dari Kampung Takar, Pantai Timur Sarmi, kini dia menetap bersama keluarganya dipulau Liki. Dia dan mama Papua lainya setiap hari menjual ikan hasil tangkapan di kota Sarmi.