BANDUNG, JOGLOSEMARNEWS.COM – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dinilai telah melewati batas kewenangan sektoral dan mengambil alih peran pendidikan tinggi dalam kebijakan sistem kesehatan nasional. Penilaian keras itu disampaikan oleh para guru besar dan akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) dalam Maklumat Padjadjaran yang dibacakan di Bandung, Senin (19/5/2025).
Dalam maklumat tersebut, mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengevaluasi kinerja Menkes Budi Gunadi. Kebijakan terkait Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) yang diusung Kementerian Kesehatan dinilai bertentangan dengan sistem akademik nasional, merusak integritas keilmuan, serta menciderai prinsip etik dan kolaborasi antarlembaga.
“Pendidikan dokter adalah pengabdian berbasis nilai, bukan produksi tenaga kerja instan,” tegas Guru Besar FK Unpad, Johanes Cornelius Mose, saat membacakan maklumat. Ia menilai kebijakan Menkes selama ini mengabaikan asas transparansi dan otonomi profesi medis, serta menyisihkan peran universitas dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran.
Para guru besar juga mendorong DPR RI untuk menginisiasi reformasi menyeluruh di sektor kesehatan. Mereka menilai perlu ada kajian serius terhadap dampak kebijakan Kementerian Kesehatan terhadap sistem pendidikan dokter dan dokter spesialis, tata kelola rumah sakit vertikal, serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
Dalam pernyataan lanjutan yang dibacakan Guru Besar Endang Sutedja, mereka menyoroti tindakan Kementerian Kesehatan yang dinilai terlalu ekspansif pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Kementerian dianggap mengambil alih peran universitas dan organisasi profesi dengan membentuk kolegium versi pemerintah tanpa melibatkan pemangku kepentingan akademik.
Lebih jauh, kebijakan RSPPU yang diterapkan secara sepihak disebut mengabaikan kerangka pendidikan tinggi, menyederhanakan jalur kompetensi profesi medis, dan berpotensi menurunkan mutu pendidikan spesialis. “Kebijakan ini menghapus peran universitas sebagai institusi akademik yang sah dan melanggar prinsip otonomi ilmiah serta tridarma perguruan tinggi,” ujar Endang.
Para akademisi juga menilai Kementerian Kesehatan telah mengabaikan otoritas Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ketika rumah sakit vertikal dijadikan pusat pendidikan tanpa keterlibatan akademik, fungsi keilmuan, evaluasi mutu, dan tanggung jawab publik terhadap lulusan dinilai ikut hilang.
Selain itu, tata kelola rumah sakit vertikal juga disebut berada dalam kondisi rapuh dan belum tersentuh reformasi mendasar. Kasus-kasus pelanggaran etik dan hukum di lingkungan rumah sakit justru dijadikan alasan untuk melemahkan institusi akademik dan organisasi profesi, alih-alih dibenahi sebagai masalah sistemik.
Di sisi lain, mereka juga mengkritik komunikasi publik dari Kementerian Kesehatan yang dinilai tidak mencerminkan etika pejabat negara. Pernyataan-pernyataan yang bersifat spekulatif, tendensius, bahkan menyerang profesi kedokteran secara menyeluruh, dinilai memperburuk kepercayaan publik terhadap dokter dan lembaga pendidikan.
“Dalam konteks demokrasi modern, komunikasi seorang menteri tidak sepatutnya menjadi alat framing kekuasaan, melainkan cerminan akal sehat negara,” pungkas Endang.
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.