KONTEN RAMAH ANAK

1 day ago 5
Dr Andina

Oleh :
Andina Elok Puri Maharani
(Pakar Hukum Kebijakan Publik di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Mengutip syair dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Di Tangan Anak-Anak”. Salah satu barisnya berbunyi “Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini”. Puisi ini bercerita tentang anak yang secara kodrati masih membutuhkan perlindungan dan pengayoman untuk mendapatkan haknya sebagai anak.

Tulisan ini hadir sebagai wujud kemirisan terhadap kondisi media sosial saat ini yang dirasa tidak ramah terhadap anak. Pada akhirnya, tulisan ini akan memberikan masukan kepada Pemerintah untuk hadir dalam tumbuh kembang anak. Menyadari bahwa anak adalah tunas bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan, maka negara harus melahirkan regulasi dan langkah strategis yang pro terhadap anak. Salah satunya adalah memastikan setiap konten media sosial dapat memberikan edukasi kepada anak (konten ramah anak).

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Saat ini anak di usia dini sudah mengenal media sosial. Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 39,71% anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, dan 35,57% diantaranya telah mengakses internet. Pada rentang usia 1–4 tahun, sebanyak 37,02% anak menggunakan telepon genggam, dan 33,80% telah mengakses internet. Angka ini meningkat pada anak usia 5–6 tahun, di mana 58,25% menggunakan gawai dan 51,19% sudah terhubung ke dunia maya. Bahkan, di wilayah tertinggal, anak-anak usia 13 hingga 14 tahun telah menunjukkan gejala kecanduan terhadap media sosial.

Sementara itu, data dari UNICEF menunjukkan bahwa setiap 0,5 detik, seorang anak di dunia mulai menggunakan internet untuk pertama kalinya. Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna internet mencapai 221 juta orang atau sekitar 79,5% dari populasi nasional, dan 9,17% diantaranya adalah anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa generasi muda semakin rentan terhadap berbagai risiko di ruang digital.

Dampak negatif
Meskipun sarat potensi positif, juga menyimpan bahaya laten yang menuntut negara, orang tua, dan penyedia platform digital untuk mengambil tanggung jawab serius dalam memastikan keselamatan dan perlindungan anak-anak. Digitalisasi yang tidak diimbangi dengan sistem pengawasan dan literasi digital yang memadai akan membuat anak-anak rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan kecanduan.

Konten negatif berdampak signifikan terhadap tumbuh kembang anak. Misalnya gangguan kognitif, gangguan mental, anak menjadi anti sosial, meningkatnya kriminalitas baik anak sebagai pelaku, maupun sebagai korban. Data dari Pusiknas Bareskrim Polri menunjukkan bahwa sejak Januari hingga Juli 2024 terdapat 40.079 anak berhadapan dengan hukum, termasuk 8.351 anak menjadi tersangka berbagai tindak kejahatan, dengan sekitar lebih dari seribu anak ditetapkan sebagai tersangka setiap bulan.

Di sisi lain, menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sepanjang 2024 tercatat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak, terdiri dari 24.999 anak perempuan dan 6.228 anak laki-laki. Fakta ini menggambarkan betapa anak-anak kita tidak hanya rentan menjadi pelaku akibat paparan konten berbahaya, tetapi juga sering menjadi korban dalam lingkungan digital dan fisik mereka.

Ruang digital memberikan ancaman tersendiri kepada anak sehingga muncul kasus judi online, pornografi, perundungan, hingga kekerasan seksual. Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pada kuartal I tahun 2025 saja terdapat 400 pemain judi online berusia di bawah 17 tahun dari total sekitar 1,06 juta pelaku yang ditelusuri aktivitas transaksinya.

Bahkan lebih luas, sebanyak 197.054 anak di bawah umur di Indonesia tercatat kecanduan judi online, dengan total transaksi mencapai Rp 293 miliar dan terjadi lebih dari 2,2 juta kali transaksi. Selain perjudian, ancaman pornografi dan kekerasan seksual juga sangat mengkhawatirkan. Indonesia menjadi negara dengan jumlah konten pornografi anak terbanyak keempat di dunia, di mana dalam kurun waktu 2019–2023, National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) mencapai 5,5 juta kasus pornografi anak.

Sementara itu, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) hingga September 2024 mencatat 7.167 kasus kekerasan seksual terhadap anak di ruang digital, termasuk 47 kasus pornografi anak dan 85 korban perdagangan anak. Kasus perundungan dan kekerasan digital juga terus meningkat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya terdapat 41 kasus kekerasan digital terhadap anak yang didominasi oleh perundungan dan pelecehan seksual secara daring sepanjang 2024. Lebih luas lagi, dari total 7.842 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat sejak 2019 hingga 2024, sebagian besar terjadi di ranah digital, dengan 5.552 anak perempuan dan 1.930 anak laki-laki menjadi korban.

Kasus-kasus diatas menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, “Every day, thousands of children are going online for the first time, which opens them up to a flood of dangers we are just coming to appreciate, let alone address.” (Laurence Chandy, Direktur UNICEF)
Dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengklik sebuah tautan, seorang anak di suatu tempat mulai menciptakan jejak digital yang dapat diikuti dan berpotensi dieksploitasi oleh mereka yang tidak selalu mempertimbangkan kepentingan terbaik anak tersebut. Fenomena ini disebut dengan algoritma media sosial.

Kehadiran Negara
Negara merupakan top organization yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negaranya. Dalam menghadapi era digitalisasi yang penuh dengan peluang sekaligus ancaman, negara dituntut untuk hadir secara aktif, baik melalui pembentukan regulasi yang adaptif maupun penguatan kelembagaan yang mampu menjawab tantangan zaman, termasuk dalam hal perlindungan terhadap anak.

Dalam UU tentang Perlindungan anak, disebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Perlindungan ini tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk dalam konteks penggunaan teknologi dan akses terhadap internet.

Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), setiap orang memiliki sejumlah hak yang dilindungi dalam ruang digital. Salah satu hak utama adalah hak atas informasi dan komunikasi yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh, menggunakan, dan menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Hak ini menjadi dasar bagi aktivitas berekspresi di dunia maya, meskipun tetap dibatasi oleh ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, Pasal 26 ayat (1) menjamin hak atas perlindungan data pribadi, yaitu bahwa setiap informasi yang menyangkut data pribadi seseorang hanya boleh digunakan dengan persetujuan orang yang bersangkutan. Ketentuan ini penting untuk melindungi anak-anak dari penyalahgunaan data mereka di ruang siber.

Pada tataran lebih teknis, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) berdampak positif dalam meningkatkan konten ramah anak di dunia digital. Seperangkat peraturan ini diharapkan menjadi lentera untuk mewujudkan perlindungan kepada anak, khususnya dalam hal pembentukan konten ramah anak.

Di berbagai negara, perlindungan anak di ruang digital diwujudkan melalui kebijakan yang tegas dan sistematis. Konten ramah anak ini diwujudkan dengan regulasi yang mewajibkan platform digital menciptakan lingkungan daring yang aman bagi pengguna anak. Di Inggris, penerapan Children’s Code dan Online Safety Act 2023 mewajibkan penyedia layanan digital untuk mengaktifkan pengaturan privasi tertinggi secara default, membatasi pelacakan data, dan menghapus konten berbahaya secara proaktif.

Di Australia, kebijakan ketat melarang anak di bawah usia 16 tahun mengakses media sosial tanpa izin orang tua, disertai sanksi denda hingga jutaan dolar bagi pelanggar. Sementara itu, Amerika Serikat menerapkan Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) yang mengharuskan persetujuan orang tua sebelum data anak di bawah 13 tahun dapat dikumpulkan oleh platform digital. Ketiga negara ini menunjukkan komitmen serius dalam memastikan konten digital yang tersedia bersifat edukatif, aman, dan sesuai dengan usia perkembangan anak.

Kelembagaan
Tanpa afirmasi dan perlindungan yang kuat, anak semakin rentan untuk menjadi korban eksploitasi dan kejahatan daring. Sehingga selain regulasi, kelembagaan juga perlu diperhatikan. Kementerian Komunikasi dan Digital pada tanggal 3 Februari 2025 membentuk Tim Penguatan Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital.

Tim ini tiga tugas utama: pertama, memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap platform digital yang diakses anak-anak; kedua, meningkatkan literasi digital bagi anak serta orang tua agar mereka lebih waspada terhadap risiko online; dan ketiga, menindak tegas konten berbahaya serta pelaku kejahatan digital yang mengancam keselamatan anak-anak.

Tim tersebut diharapkan dapat optimal mengikuti lajunya digitalisasi agar dapat mengurangi dampak negatif dari konten yang tidak edukatif.

Di negara seperti Inggris, terdapat lembaga khusus bernama UK Children’s Commissioner, yang secara aktif mengadvokasi kepentingan anak di ruang digital dan menjadi mitra pemerintah dalam menyusun kebijakan seperti Children’s Code dan Online Safety Act. Di Australia, peran tersebut dipegang oleh eSafety Commissioner, sebuah badan independen yang memiliki kewenangan luas untuk menerima laporan konten berbahaya, memerintahkan penghapusan konten eksploitasi anak, dan memberikan edukasi digital kepada anak-anak, orang tua, serta sekolah.

Sementara di Amerika Serikat, fungsi pengawasan perlindungan anak secara daring dijalankan oleh Federal Trade Commission (FTC) melalui pengawasan pelaksanaan COPPA (Children’s Online Privacy Protection Act), serta didukung oleh National Center for Missing & Exploited Children (NCMEC) yang menjadi pusat pelaporan dan penanganan kasus eksploitasi anak secara digital. Kehadiran lembaga-lembaga ini menunjukkan bahwa perlindungan anak di dunia digital tidak cukup hanya dengan regulasi, tetapi juga harus didukung oleh kelembagaan yang fokus dan kuat.

Namun di balik penguatan regulasi dan kelembagaan tersebut, ancaman terhadap anak di ruang digital masih sangat nyata. Temuan menarik yang dibongkar NPR pada Oktober 2024 terhadap dokumen internal TikTok menunjukkan bahwa rancangan fitur aplikasi tersebut secara sengaja dirancang untuk membuat anak muda di Amerika Serikat kecanduan. Efek kecanduan ini berdampak langsung pada penurunan produktivitas otak dan konsentrasi, dan lebih memprihatinkan lagi, anak-anak menjadi kelompok pengguna yang turut terdampak. Selain memicu kecanduan, banyak konten yang tersebar di platform tersebut bersifat non-edukatif, sehingga menambah beban tantangan dalam melindungi anak-anak dari pengaruh negatif dunia digital.

Strategi Child Friendly Ecosystem
Perwujudan konten ramah anak membutuhkan dukungan ekosistem. Regulasi dan kelembagaan penting, namun yang tidak kalah penting adalah membangun pondasi berupa ekosistem yang ramah anak, atau yang dalam tulisan ini disebut sebagai “child friendly ecosystem”. Ekosistem ini tidak hanya bertumpu pada hukum, tetapi juga menekankan pentingnya budaya ramah anak yang dibangun secara kolaboratif dan berkelanjutan, melalui pelibatan lintas sektor.

Dunia pendidikan berperan dalam memperkuat literasi digital dan nilai-nilai etika sejak dini, dunia kesehatan bertanggung jawab memastikan tumbuh kembang mental dan psikososial anak tetap terjaga di tengah paparan digital, sementara dunia teknologi dituntut untuk merancang platform dan layanan digital yang aman, inklusif, dan sesuai dengan tahapan usia anak.

Ketiganya harus berinteraksi erat dengan keluarga, masyarakat, media, dan sektor swasta untuk mewujudkan lingkungan digital yang mendukung perlindungan dan partisipasi bermakna bagi anak-anak. Praktik nyata yang dapat dilakukan oleh orang tua yakni memberikan prioritas waktu kepada anak sehingga gawai bukanlah satu-satunya sahabat bagi anak.

Monitoring terhadap gawai juga harus dilakukan oleh orang tua dan yang paling penting adalah komunikasi orang tua kepada anak untuk menanamkan Pendidikan karakter. Hal konkret lain yang dapat dilakukan yakni mendorong lahirnya konten kreator yang disupport oleh pemerintah untuk menghadirkan konten yang ramah anak. Mereka punya andil besar untuk memberikan informasi hiburan bahkan strategi pemasaran. (*)

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|