MUI Tetapkan Fatwa Pajak Berkeadilan: Kebutuhan Primer Dilarang Dipajaki, Zakat Jadi Pengurang Pajak

1 day ago 15
Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh | Wikipedia

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengesahkan sejumlah fatwa baru dalam Sidang Komisi Fatwa yang digelar pada rangkaian Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025). Salah satu keputusan yang menjadi sorotan publik ialah fatwa mengenai prinsip perpajakan yang adil menurut syariat Islam.

Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa fatwa tersebut dirumuskan untuk menegaskan batas-batas syar’i atas kebijakan pajak, terutama yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Menurutnya, barang kebutuhan primer tidak boleh dibebani pajak, terlebih jika bersifat konsumtif seperti sembako.

“Untuk kebutuhan pokok, tidak boleh ada pengenaan pajak berulang. Hal-hal yang menjadi dasar hidup masyarakat harus dilindungi,” kata Asrorun seusai sidang.

Ia menambahkan, penetapan fatwa ini juga mempertimbangkan situasi yang beberapa tahun terakhir mengundang perhatian publik, yakni meningkatnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah yang memicu gelombang keberatan hingga aksi protes. Terkait hal itu, MUI menegaskan bahwa rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tidak diperuntukkan kegiatan komersial tidak pantas dikenai pajak berulang karena nilai ekonominya tidak berkembang.

Dalam regulasi syariah tentang perpajakan yang disusun MUI, hanya warga yang memiliki kemampuan finansial memadai yang layak menjadi wajib pajak. Batas minimum kemampuan tersebut disetarakan dengan nisab zakat mal—85 gram emas.

Fatwa itu juga menekankan bahwa objek pajak seharusnya berasal dari harta yang dapat diproduktifkan atau masuk kategori kebutuhan sekunder dan tersier, bukan kebutuhan darurat atau mendasar. Dengan prinsip ini, kebijakan pajak diharapkan tidak menggerus kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Asrorun menyebut pajak pada hakikatnya adalah milik rakyat. Pemerintah hanya bertugas mengelola dan menyalurkannya demi kemaslahatan publik secara luas. Karena itu, mekanisme pemungutan hingga penggunaannya wajib dijalankan secara amanah, transparan, dan selaras dengan prinsip keadilan.

Hal baru yang muncul dalam fatwa ini adalah penegasan bahwa pembayaran zakat dapat dihitung sebagai pengurang kewajiban pajak. MUI menilai, integrasi zakat dan pajak tersebut mampu mendorong rasa keadilan dan mencegah beban ganda kepada umat Islam.

“Ketika zakat sudah ditunaikan, maka secara syar’i perlu diperhitungkan sebagai pengurang pajak agar tidak terjadi pemungutan yang memberatkan,” ujar Asrorun.

Di sisi lain, MUI tetap mewajibkan umat untuk mematuhi ketentuan pajak negara sepanjang sesuai syariat. Namun, jika ada pemungutan yang keluar dari prinsip-prinsip dalam fatwa tersebut, maka pemungutan tersebut dinyatakan tidak sah secara syar’i.

Fatwa ini diharapkan menjadi rujukan baru bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan fiskal yang lebih berkeadilan serta menjadi pedoman umat dalam memahami batasan kewajiban pajak menurut Islam. [*] Disarikan dari sumber berita media daring

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|