JAYAPURA – Eksistensi tas noken yang selama ini digeluti mama-mama Papua yang dijajakan di pinggiran jalan terancam. Ini setelah beredar iklan promosi tas modern bermotif Noken di media sosial. Selain lebih murah, bentuk yang modelnya lebih variatif. Hal tersebut menimbulkan kecemasan di tengah mama-mama perajut.
Kondisi ini lantas mendapat tanggapan dari pencentus Noken UNESCO, Titus Pekei. Titus Pekei mengatakan produk tas modern bermotif noken sama sekali tidak menghormati kearifan lokal masyarakat Papua dan juga tidak menghargai mama pembuat Noken. Meski berbicara peluang namun ada tradisi dan budaya yang harus dipertahankan.
Bentuk untuk mempertahankan tidak hanya menjaga eksistensi tetapi juga menciptakan pasar yang sehat untuk setiap produk kearifan lokal. Jika hanya mengandalkan produk yang lebih murah mamun minim evort tentu akan memilih yang simple meski bukan original.
“Saya ditelpon oleh beberapa komunitas noken Papua, untuk meminta pendapat saya terkait tas yang mengambil motif noken. Iklan promosinya beredar di media sosial. Sepertinya oleh pembuat, mereka membeli noken, lalu menggunting dan menempelkan pada Tas itu,” kata Titus Pekei, Jumat melalui ponselnya, Jumat malam (2/5).
Menurut Titus, semestinya hal ini tidak boleh terjadi. Noken yang dikenal, adalah noken dengan bentuk dan ciri khas yang dibuat oleh mama dan bapa papua. Tidak perlu lagi membuat model baru yang terlepas dari hasil cipta, karya dan karsa masyarakat Papua yang sudah diwariskan secara turun temurun.
“Dari model tas modern yang bermotif noken itu, sepertinya mereka memotong noken yang sudah jadi setelah membeli dari perajin noken anggrek atau noken emas buah karya tangan yang bernilai tinggi ini,” tambahnya.
Noken Anggrek, suku Mee, menurut talenta dirinya, tidak boleh ada orang merendahkan atau meniadakan dengan cara gunting sesuka-suka orang.
Pemilik hak paten Noken sebagai warisan budaya tak benda dunia UNESCO merupakan hak cipta komunal individu di komunitas perajin noken dalam tujuh wilayah adat Papua. Titus mengatakan, industri modern cenderung meminggirkan pengrajin budaya hingga masyarakat budaya kehilangan mata pencahariannya.
JAYAPURA – Eksistensi tas noken yang selama ini digeluti mama-mama Papua yang dijajakan di pinggiran jalan terancam. Ini setelah beredar iklan promosi tas modern bermotif Noken di media sosial. Selain lebih murah, bentuk yang modelnya lebih variatif. Hal tersebut menimbulkan kecemasan di tengah mama-mama perajut.
Kondisi ini lantas mendapat tanggapan dari pencentus Noken UNESCO, Titus Pekei. Titus Pekei mengatakan produk tas modern bermotif noken sama sekali tidak menghormati kearifan lokal masyarakat Papua dan juga tidak menghargai mama pembuat Noken. Meski berbicara peluang namun ada tradisi dan budaya yang harus dipertahankan.
Bentuk untuk mempertahankan tidak hanya menjaga eksistensi tetapi juga menciptakan pasar yang sehat untuk setiap produk kearifan lokal. Jika hanya mengandalkan produk yang lebih murah mamun minim evort tentu akan memilih yang simple meski bukan original.
“Saya ditelpon oleh beberapa komunitas noken Papua, untuk meminta pendapat saya terkait tas yang mengambil motif noken. Iklan promosinya beredar di media sosial. Sepertinya oleh pembuat, mereka membeli noken, lalu menggunting dan menempelkan pada Tas itu,” kata Titus Pekei, Jumat melalui ponselnya, Jumat malam (2/5).
Menurut Titus, semestinya hal ini tidak boleh terjadi. Noken yang dikenal, adalah noken dengan bentuk dan ciri khas yang dibuat oleh mama dan bapa papua. Tidak perlu lagi membuat model baru yang terlepas dari hasil cipta, karya dan karsa masyarakat Papua yang sudah diwariskan secara turun temurun.
“Dari model tas modern yang bermotif noken itu, sepertinya mereka memotong noken yang sudah jadi setelah membeli dari perajin noken anggrek atau noken emas buah karya tangan yang bernilai tinggi ini,” tambahnya.
Noken Anggrek, suku Mee, menurut talenta dirinya, tidak boleh ada orang merendahkan atau meniadakan dengan cara gunting sesuka-suka orang.
Pemilik hak paten Noken sebagai warisan budaya tak benda dunia UNESCO merupakan hak cipta komunal individu di komunitas perajin noken dalam tujuh wilayah adat Papua. Titus mengatakan, industri modern cenderung meminggirkan pengrajin budaya hingga masyarakat budaya kehilangan mata pencahariannya.