
Oleh:
Burhan Efendi
(Mahasiswa S3 Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang)
Ketahanan pangan sering kali dibayangkan sebagai urusan besar, urusan negara, kementerian, atau industri pertanian berskala masif. Namun, di balik hiruk-pikuk kebijakan nasional, ada ruang kecil yang sering luput diperhatikan yaitu pekarangan rumah tangga. Di sanalah sesungguhnya ketahanan pangan dimulai, di mana keluarga menjadi produsen sekaligus pendidik, dan anak-anak belajar tentang kehidupan dari tanah yang mereka pijak.
Melalui refleksi panjang dan praktik lapangan, lahirlah gagasan Rumah Pangan Berkemajuan (RPB) yaitu sebuah pendekatan yang tidak sekadar bertujuan menghasilkan sayur dan buah di halaman rumah, tetapi menumbuhkan kesadaran baru bahwa rumah adalah ekosistem pendidikan, ekonomi, dan spiritualitas yang saling terkait. Model ini berangkat dari pengalaman lapangan di Mojogedang, Karanganyar, di mana keluarga, sekolah, dan penyuluh pertanian berkolaborasi menciptakan pola baru pendidikan berbasis pangan.
RPB menempatkan pekarangan sebagai laboratorium kehidupan. Di sana, anak-anak tidak hanya menanam kangkung dan cabai, tetapi juga menanam karakter. Mereka belajar tentang kerja keras, kesabaran, dan rasa syukur dari proses merawat tanaman. Orang tua yang dulunya sibuk dengan pekerjaan di luar rumah kini ikut terlibat dalam kegiatan produktif yang mempererat hubungan keluarga. Sementara itu, sekolah berfungsi sebagai penggerak utama, menyediakan sarana praktik, bimbingan teknis, dan akses pemasaran hasil pekarangan. Dengan demikian, sekolah bukan hanya tempat belajar teori, tetapi juga pusat pembelajaran hidup—menghubungkan ilmu dengan realitas sosial.
Nilai-nilai Islam menjadi fondasi moral dari gagasan ini. Dalam Al-Qur’an, manusia diingatkan sebagai khalifah di bumi, yang memiliki tanggung jawab menjaga dan mengelola alam secara berkeadilan. Menanam bukan sekadar kegiatan agronomi, tetapi juga ibadah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim). Dengan kesadaran ini, aktivitas bertani di pekarangan bukan lagi sekadar upaya bertahan hidup, tetapi bentuk nyata dari spiritualitas ekologis atau ibadah yang menghidupkan bumi.
Dari sisi sosial-ekonomi, penerapan RPB menunjukkan dampak nyata. Hasil pendampingan keluarga di Mojogedang memperlihatkan penghematan pengeluaran pangan hingga 30 persen, meningkatnya keberagaman tanaman pekarangan, serta tumbuhnya kesadaran ekologis seperti pembuatan kompos, pemeliharaan lebah madu klanceng, dan pemanfaatan tanaman obat. Lebih dari itu, anak-anak mulai terlibat aktif dalam kegiatan produktif rumah tangga, sehingga tumbuh rasa tanggung jawab dan kebersamaan.
Di tingkat makro, gagasan ini menjawab tantangan global yang dihadapi dunia modern: urbanisasi, krisis pangan, dan keterputusan manusia dari sumber pangannya. Rumah Pangan Berkemajuan menjadi bentuk resistance terhadap budaya konsumtif yang bergantung pada produk instan dan pasar global. Ia mengembalikan martabat keluarga sebagai produsen, bukan sekadar konsumen.
Dalam konteks Sustainable Development Goals (SDGs), model ini sejalan dengan tujuan “Tanpa Kelaparan” dan “Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab”, namun berangkat dari akar lokal yang sederhana: cinta pada tanah dan tanggung jawab pada keluarga. Lebih jauh, gagasan ini bisa menjadi gerakan nasional. Jika setiap rumah tangga di Indonesia memiliki kesadaran dan kemampuan menanam sesuai potensi lahannya, dan setiap sekolah menjadi pusat pembelajaran agrikultur berbasis nilai, maka ketahanan pangan tidak lagi menjadi wacana, melainkan realitas yang tumbuh dari bawah.
Pada akhirnya, Rumah Pangan Berkemajuan bukan hanya tentang menanam sayur atau beternak lebah, tetapi tentang menanam kesadaran baru yaitu bahwa ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan moral dan spiritual bangsa. Dari pekarangan, kita belajar menghargai proses; dari tanah, kita belajar bersyukur; dan dari kerja bersama keluarga, kita menanam masa depan yang lebih mandiri.
Ketahanan pangan sejati bukan hanya tentang ketersediaan beras di gudang, tetapi tentang kemandirian di halaman rumah. Karena sejatinya, bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu memberi makan dirinya sendiri yaitu dimulai dari sepetak tanah di depan rumah.
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

5 hours ago
4

















































