JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Pemerintah diminta memastikan dana jumbo Rp200 triliun yang ditaruh di bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) benar-benar likuid dan siap ditarik kapan saja. Pasalnya, ketersediaan kas negara menjadi bantalan penting menghadapi gejolak ekonomi global dan potensi lonjakan pembiayaan.
Penempatan dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang sebelumnya mencapai sekitar Rp440 triliun. Dari total itu, Rp200 triliun dialihkan ke lima bank pelat merah: BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Sisanya digunakan untuk menutup defisit dan pembiayaan program lainnya, sehingga saldo cadangan pemerintah tersisa sekitar Rp138 triliun.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai bantalan SAL yang relatif menipis membuat pemerintah harus lebih disiplin menjaga likuiditas. Ia mengingatkan bahwa belanja rutin bulanan pemerintah—mulai pembayaran gaji aparatur, bunga surat berharga negara, hingga transfer ke daerah—bisa menembus ratusan triliun rupiah setiap bulannya.
“Kalau dana Rp200 triliun di bank Himbara tidak benar-benar likuid, kas negara bisa rentan terguncang ketika ada kebutuhan mendesak,” ujar Rizal, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, risiko utama jika kas negara terlalu tipis adalah tertundanya pembayaran kewajiban kepada kontraktor maupun pemerintah daerah, yang akhirnya mengganggu realisasi belanja dan aktivitas ekonomi. Pemerintah juga bisa terpaksa menambah penerbitan surat utang dalam kondisi pasar tidak kondusif, yang berarti bunga semakin mahal dan beban utang kian berat.
Pengalaman masa lalu, kata Rizal, menunjukkan betapa tipisnya kas negara dapat menimbulkan efek berantai. Pada 2015 misalnya, belanja modal dan transfer daerah sempat tertahan karena tekanan kas, dan imbasnya yield obligasi pemerintah melonjak.
Karena itu, ia menyarankan pemerintah menjaga saldo cadangan setidaknya setara satu hingga dua bulan kebutuhan belanja rutin—atau sekitar Rp400 hingga Rp500 triliun—agar fiskal tetap stabil meski penerimaan terganggu atau pasar bergejolak.
Senada, pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai injeksi dana besar ke Himbara bukan jaminan langsung bagi perbaikan kredit ke sektor riil. Ia menganalogikan kebijakan itu seperti “turbo” di mesin mobil yang ragu-ragu melaju.
“Dorongan dana akan efektif bila jalurnya jelas. Kalau tidak, justru meningkatkan risiko selip di tikungan,” kata Achmad. Ia mengingatkan pemerintah dan bank pelat merah berhati-hati dalam menyalurkan dana, termasuk menentukan sasaran, tujuan, dan mekanisme agar manfaatnya optimal.
Dengan kata lain, kata Achmad, keberhasilan bukan sekadar pada besarnya dana, tetapi juga kesiapan menariknya sewaktu-waktu serta ketepatan sasaran distribusi. “Bendungan boleh besar, tapi kalau katupnya longgar dan meterannya lemah, airnya bisa habis untuk hal-hal yang tak produktif,” tandasnya. [*] Disarikan dari sumber media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.