Para pembicara sedang menyampaikan gagasannya pada Diskusi Komunikasi Mahasiswa UGM Jumat (31/10/2025).SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) edisi ke-25 bertajuk “Regulasi Penyiaran Konvensional dan Digital”, Jumat (31/10/2025).
Kegiatan yang berlangsung secara luring di Kampus Fisipol UGM ini berkolaborasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) D.I. Yogyakarta melalui program Kanthi Pawiyatan Goes to Campus.
Forum ini menjadi ajang pertemuan antara regulator, praktisi, dan akademisi untuk membahas arah regulasi penyiaran di tengah derasnya arus digitalisasi media.
Diskusi menghadirkan tiga pembicara dari latar belakang berbeda, yaitu Evri Rizqi Monarshi dari Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Gilang Iskandar dari Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Rahayu dari Dosen sekaligus Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM.
Acara Diskoma edisi 25 ini dibuka oleh Wisnu Martha Adiputra mewakili Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya kesinambungan Diskoma sebagai ruang belajar kritis bagi mahasiswa dalam merespons isu publik, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial di ruang siar.
Kemudian pada sesi pertama, diskusi dipantik oleh Evri Rizqi Monarshi yang menyoroti ketimpangan regulasi antara media konvensional dan platform digital. Ia menjelaskan bahwa tantangan utama KPI saat ini adalah menjaga peran pengawasan publik di tengah disrupsi algoritmik yang semakin kompleks.
“KPI berjuang untuk mempertahankan peran pengawas publik di tengah disrupsi digital, menuntut regulasi yang adaptif dan berbasis prinsip agar jurang antara media konvensional dan digital bisa dijembatani,” ujarnya.
Sementara itu pada penjabaran materi kedua, Gilang Iskandar menilai beban regulasi yang timpang membuat lembaga penyiaran nasional kehilangan daya saing.
“Televisi konvensional dibebani banyak aturan administratif, sementara platform digital global beroperasi tanpa batas. Ini menciptakan ketidakadilan yang perlu segera dibenahi,” tegasnya.
Dari sisi akademik, Rahayu menekankan bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran tidak hanya soal hukum, tetapi juga pembacaan ulang terhadap perubahan sosial dan teknologi.
“Revisi UU Penyiaran perlu memperhatikan aspek kepemilikan media, penguatan lembaga penyiaran publik, serta aturan untuk model penyiaran berbasis streaming dan platform digital agar lebih adil dan kontekstual,” jelasnya.
Diskusi yang dipandu oleh Rahman Hakim, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM, berlangsung dinamis dengan partisipasi aktif mahasiswa, akademisi, serta perwakilan lembaga penyiaran daerah.
Melalui forum ini, Diskoma edisi ke-25 menegaskan kembali pentingnya penyiaran sebagai ruang publik yang adil, demokratis, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Magister Ilmu Komunikasi UGM berharap kegiatan rutin ini dapat terus menjadi ruang belajar kolektif yang mendorong lahirnya gagasan baru untuk masa depan penyiaran Indonesia yang beretika, inklusif, dan berpihak pada publik. (*)
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

7 hours ago
3

















































