Gen Z Catatkan Pengangguran Tertinggi, Hampir 10 Juta Anak Muda Menganggur di Indonesia

22 hours ago 4
Ilustrasi pengangguran | pixabay

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Generasi muda Indonesia, terutama Gen Z, tengah menghadapi tantangan besar di dunia kerja. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 4,76 persen. Dari jumlah tersebut, porsi terbesar berasal dari kelompok usia muda, khususnya Gen Z yang kini berusia sekitar 13–28 tahun.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mencatat tingkat pengangguran Gen Z menembus 16 persen—angka tertinggi dibanding kelompok usia lainnya. Fakta ini mengindikasikan belum optimalnya penyerapan tenaga kerja muda oleh pasar kerja nasional.

Sakernas mendefinisikan pengangguran sebagai penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bekerja, sedang mencari kerja, menyiapkan usaha baru, telah diterima bekerja tetapi belum mulai, atau merasa putus asa mencari pekerjaan. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi indikator yang menunjukkan tenaga kerja yang tak terserap pasar.

Tak hanya berdasarkan usia, lulusan pendidikan tertentu juga menyumbang angka pengangguran tinggi. Data Sakernas Februari 2025 memperlihatkan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menempati posisi tertinggi dengan 8 persen, disusul lulusan SMA 6,35 persen dan lulusan perguruan tinggi 6,23 persen. Lulusan SD ke bawah justru hanya 2,32 persen dan lulusan SMP 4,35 persen.

Fenomena ini sejalan dengan temuan Aliansi Ekonom Indonesia. Menurut Vivi Alatas, pengangguran usia 15–24 tahun sejak 2016 hingga 2024 selalu di atas 15 persen, atau tiga kali lipat lebih tinggi dibanding kelompok usia dewasa 25–34 tahun. Ia juga mengingatkan, lebih dari seperempat anak muda Indonesia tergolong tidak produktif—tidak bekerja, tidak sekolah, tidak mengikuti pelatihan, bahkan tidak mempersiapkan diri untuk kerja, terutama pada kelompok perempuan.

Psikolog Universitas Paramadina, Tia Rahmania, menilai tingginya pengangguran di kalangan Gen Z dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar kerja. “Ada mismatch antara skill dan kebutuhan perusahaan,” ujarnya dalam seminar daring “Gen Z & Work Ethics Problem”.

Selain itu, lanjut Tia, Gen Z sering dikritik kurang disiplin, cepat jenuh, dan cenderung mengutamakan keseimbangan hidup (work-life balance) daripada ketahanan kerja. Mereka juga dianggap punya ekspektasi gaji tinggi yang kadang tak sejalan dengan performa. “Burnout menjadi pemicu signifikan anak muda keluar dari pekerjaan,” ujarnya.

Data BPS pada 2023 menunjukkan 9,9 juta pemuda Indonesia termasuk kategori NEET (not in education, employment, and training) atau sekitar 22,25 persen penduduk usia 15–24 tahun. Angka ini menegaskan besarnya tenaga kerja potensial yang belum terberdayakan.

Kondisi itu diperkuat laporan platform konsultasi pendidikan dan karier, Intelligent, yang menyebut enam dari sepuluh perusahaan memecat karyawan fresh graduate dalam tahun ini. Alasannya beragam, mulai dari kurangnya motivasi, disiplin, profesionalisme, hingga keterampilan komunikasi.

Fenomena ini menandakan Indonesia perlu strategi lebih agresif untuk menjembatani dunia pendidikan, pelatihan, dan industri. Tanpa intervensi serius, potensi demografi bonus usia muda bisa berubah menjadi beban ketenagakerjaan. (*) Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|