JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Penyelidikan dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 terus bergerak maju. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menempuh langkah tegas dengan menyita dua rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan, senilai sekitar Rp6,5 miliar.
Menurut KPK, aset tersebut diduga kuat dibeli menggunakan uang hasil fee ilegal dari praktik jual beli kuota haji tambahan. Rumah itu diketahui atas nama seorang aparatur sipil negara (ASN) di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama.
“Penyitaan dilakukan dari salah satu pegawai Kemenag. Transaksi pembelian dilakukan secara tunai pada 2024,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Selasa (9/9/2025).
Meski begitu, pihak mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) buru-buru menegaskan bahwa aset yang kini jadi barang bukti bukan miliknya. “Itu milik ASN di lingkungan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, bukan milik Pak Yaqut,” jelas juru bicaranya, Anna Hasbi.
Anna menambahkan, sejumlah aset lain yang sebelumnya juga disita penyidik, termasuk uang tunai 1,6 juta dolar AS (sekitar Rp26 miliar), empat mobil, serta lima bidang tanah dan bangunan, tidak ada satupun yang terhubung dengan Gus Yaqut.
Akar masalah tambahan kuota
Kasus ini bermula dari kebijakan tambahan 20.000 kuota haji yang diberikan Arab Saudi pada 2023–2024. Alih-alih mengikuti skema Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019—yang membagi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen haji khusus—pihak Kemenag justru membagi rata, 50 persen untuk reguler dan 50 persen untuk khusus.
Skema tersebut diduga membuka celah praktik jual beli kuota, di mana jemaah yang baru mendaftar bisa langsung berangkat asalkan mampu membayar ratusan juta rupiah. KPK memperkirakan kerugian negara akibat penyimpangan ini bisa menembus Rp1 triliun.
Satu per satu saksi diperiksa
Untuk mengurai kasus ini, KPK mulai mengatur jadwal pemeriksaan saksi. Sejumlah orang dekat Gus Yaqut ikut dipanggil. Pada Kamis (4/9/2025), penyidik memeriksa Wakil Sekretaris Jenderal GP Ansor, Syarif Hamzah Asyathry, terkait dokumen dan barang bukti elektronik yang ditemukan dalam penggeledahan rumah Gus Yaqut di Jakarta Timur, pertengahan Agustus lalu.
Selain Syarif, penyidik juga meminta keterangan lima orang lain, termasuk pimpinan asosiasi travel haji dan umrah. Dari Sapuhi hadir Ketua Umum Syam Resfiadi, sedangkan dari Kesthuri ada Muhammad Al Fatih dan Juahir. Nama lain yang turut diperiksa yakni Firda Alhamdi dari PT Raudah Eksati Utama, serta Muhamad Agus Syafii dari Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag.
Barang bukti yang diperoleh dalam penggeledahan sebelumnya, berupa catatan keuangan hingga data elektronik, diyakini menjadi kunci untuk menyingkap siapa saja yang diuntungkan dari perubahan kebijakan kuota haji tersebut.
Tekanan agar KPK tidak ragu
Gelombang dukungan bagi KPK agar serius menuntaskan perkara ini terus berdatangan. Tokoh Nahdlatul Ulama Papua, KH Toni Victor Mandawiri Wanggai, menegaskan bahwa penyidik jangan sampai gentar menyentuh lingkaran dalam Gus Yaqut maupun pihak lain yang turut dicegah ke luar negeri, termasuk staf khusus Isfah Abidal Aziz serta sejumlah pengusaha travel.
“Korupsi kuota haji ini jelas merugikan rakyat. Keuntungannya tidak mungkin hanya dinikmati segelintir orang. KPK harus jeli menelusuri aliran uangnya dan berani mengeksekusi,” ujarnya.
Toni menambahkan, praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan karena berpotensi merampas hak masyarakat luas, termasuk orang-orang Papua yang masih berjuang mendapatkan akses pembangunan. “Jangan sampai uang negara yang seharusnya untuk rakyat justru dipakai memperkaya kelompok tertentu,” tegasnya.
Belum ada tersangka
Meski bukti sudah mulai terkumpul, KPK sejauh ini belum mengumumkan tersangka dalam kasus skandal kuota haji. Alasannya, penyidik masih menunggu hasil audit kerugian negara secara menyeluruh serta melengkapi bukti tambahan dari berbagai pihak.
Budi Prasetyo memastikan, pengumuman tersangka tinggal menunggu waktu. “Kami masih mendalami data, dokumen, dan keterangan saksi. Semua proses dilakukan agar penetapan tersangka nantinya kuat secara hukum,” ujarnya.
Dengan nilai kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp1 triliun, skandal ini berpotensi menjadi salah satu kasus korupsi terbesar di sektor keagamaan. Masyarakat kini menanti langkah berani KPK untuk menyeret para pelaku, siapa pun yang terbukti terlibat. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.