Penetapan Hari Kebudayaan Nasional 17 Oktober Dikritik, Dinilai Tergesa dan Sarat Kepentingan

20 hours ago 5
Franz Magnis Suseno | Wikipedia

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Keputusan pemerintah menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional memicu gelombang kritik dari sejumlah tokoh dan parlemen. Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menilai kebijakan itu berpotensi sarat kepentingan politik dan dibuat tanpa proses partisipatif.

“Saya khawatir penetapan Hari Kebudayaan ini hanya menjadi alat politik penguasa. Apalagi, tanggal 17 Oktober bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Jangan sampai kebijakan dibuat asal Bapak senang,” kata Romo Magnis saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (16/7/2025).

Menurut rohaniawan Katolik tersebut, keputusan penting menyangkut kebudayaan tidak boleh diambil sepihak oleh kementerian tanpa melibatkan masyarakat luas. “Kebudayaan adalah milik bersama bangsa. Tidak bisa tiba-tiba ditetapkan begitu saja,” tegasnya.

Romo Magnis juga meragukan klaim bahwa pemilihan tanggal 17 Oktober hanyalah kebetulan. Ia menilai keputusan semacam ini bisa menjadi preseden berbahaya yang perlu diwaspadai agar kebijakan publik tidak dijadikan sarana mencari keuntungan politik.

Sikap kritis juga disuarakan Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menilai langkah Menteri Kebudayaan Fadli Zon terlalu terburu-buru dan minim penjelasan. “Kebudayaan adalah warisan lintas generasi. Jangan sampai kebijakan ini menimbulkan polemik hanya karena tidak ada penjelasan yang cukup,” ujarnya saat konferensi pers di Senayan, Selasa (15/7/2025).

Puan menekankan bahwa kebijakan kebudayaan semestinya bersifat reflektif dan substantif, bukan hanya simbolis. Ia memastikan Komisi X DPR akan memanggil Menteri Kebudayaan untuk meminta kejelasan terkait dasar pemilihan tanggal dan tujuan kebijakan tersebut. “Kami ingin tahu argumennya apa. Ini supaya publik tidak berprasangka,” kata Puan.

Nada senada disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, yang mengaku belum pernah mendengar rencana penetapan Hari Kebudayaan dalam rapat resmi bersama Kementerian Kebudayaan. “Tidak ada kewajiban formal konsultasi, memang. Tapi sebagai mitra, setidaknya kami diberi tahu. Jangan sampai tahunya hanya dari media,” ujarnya.

Menanggapi kritik tersebut, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan penetapan 17 Oktober tidak ada kaitannya dengan ulang tahun Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang meresmikan Garuda Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang negara.

“Bhinneka Tunggal Ika adalah filosofi bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman,” ujar Fadli dalam keterangan tertulis, Senin (14/7/2025).

Fadli juga menjelaskan bahwa gagasan Hari Kebudayaan berasal dari usulan para seniman dan budayawan Yogyakarta. Menurutnya, kajian mengenai Hari Kebudayaan sudah dimulai sejak Januari 2025 dan melalui serangkaian diskusi mendalam sebelum diajukan ke kementeriannya.

Sebelumnya, sejumlah seniman yang tergabung dalam Tim 9 Garuda Plus telah berdiskusi bersama anggota Komite III DPD RI DIY, Ahmad Syauqi Soeratno, pada 26 Mei 2025 di Gedung DPD Yogyakarta untuk membahas gagasan penetapan Hari Kebudayaan Nasional.

Meski demikian, kritik publik dan parlemen terus bergulir agar pemerintah lebih transparan, demi menghindari kecurigaan bahwa kebijakan ini dibuat demi kepentingan politik tertentu. [*] Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|