YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Program Sekolah Rakyat berbasis asrama yang mulai dijalankan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuai sorotan dari kalangan legislatif. Ketua Komisi D DPRD DIY, RB Dwi Wahyu, menyebut pelaksanaan program pendidikan alternatif itu terkesan dipaksakan dan tidak melalui proses perencanaan yang matang.
Dwi menegaskan bahwa program yang ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin itu seharusnya tidak sekadar mengeksekusi instruksi pemerintah pusat, tetapi juga mempertimbangkan kesiapan daerah secara menyeluruh. Mulai dari ketersediaan tenaga pengajar, kurikulum, hingga koordinasi antarlembaga yang masih tumpang tindih.
“Ini terkesan terburu-buru. Belum ada peta jalan yang jelas, petunjuk teknis belum rampung, siapa mengerjakan apa juga belum tegas. SDM saja masih minim,” kata Dwi saat ditemui wartawan di Yogyakarta, Rabu (16/7/2025).
Menurutnya, program Sekolah Rakyat membutuhkan kerja kolaboratif antarorganisasi perangkat daerah. Dinas Sosial misalnya, memegang data masyarakat miskin dan kebutuhan dasar. Sementara Dinas Pendidikan mengurusi kurikulum dan guru. Di sisi lain, Dinas Pekerjaan Umum (PU) diperlukan untuk membenahi infrastruktur dan fasilitas sekolah.
Namun, hingga saat ini, koordinasi lintas sektor tersebut dinilai belum berjalan dengan baik. Dwi mencontohkan bahwa dua sekolah rakyat yang sudah berdiri di Bantul dan Sleman belum sepenuhnya merepresentasikan kebutuhan riil daerah.
“Kenapa bukan di Gunungkidul atau Kulon Progo? Bukankah tingkat kemiskinan ekstrem lebih tinggi di sana? Harusnya pemetaan dilakukan berdasarkan data, bukan sekadar tunjuk lokasi,” ujarnya.
DPRD juga menyoroti aspek rekrutmen guru dan pendekatan pendidikan di Sekolah Rakyat yang dinilai belum terstandarisasi. Dwi mengingatkan bahwa membangun karakter peserta didik tidak cukup hanya melalui pendekatan militeristik yang belakangan sempat diwacanakan.
“Karakter tidak hanya dibentuk dengan disiplin ala militer. Ia juga lahir dari lingkungan yang sehat, budaya lokal, dan interaksi yang mendukung tumbuh kembang anak,” tegasnya.
Politisi PDI Perjuangan itu mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar proyek cepat saji. “Kalau tidak diawali kajian menyeluruh, ya hasilnya tambal sulam. Ini soal masa depan anak-anak kita, jangan dijadikan proyek coba-coba,” tambahnya.
Pemerintah daerah, menurut Dwi, seharusnya tidak hanya menjadi eksekutor kebijakan pusat. Ia mendorong agar pendekatan partisipatif dilakukan sejak awal, termasuk melibatkan tokoh masyarakat, budayawan, dan orang tua siswa.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsih, menyampaikan bahwa hingga pertengahan 2025, dua sekolah rakyat telah beroperasi di Bantul dan Sleman. Total 275 siswa telah terdaftar, terdiri atas 200 siswa di Bantul dan 75 di Sleman.
“Anak-anak mendapatkan fasilitas lengkap, mulai dari akses pendidikan formal, makan tiga kali sehari, perlengkapan belajar, seragam, sepatu, tas, hingga kebutuhan harian lainnya,” terang Endang.
Meski demikian, muncul kabar bahwa 29 siswa di salah satu sekolah rakyat memilih mundur dari program tersebut. Kendati belum dijelaskan secara rinci penyebabnya, hal ini memperkuat argumen bahwa kesiapan program masih perlu dievaluasi lebih mendalam.
DPRD DIY berharap ke depan program Sekolah Rakyat benar-benar menyentuh akar persoalan sosial dan pendidikan. “Jangan asal jalan karena dikejar target pusat. Harus dikaji dulu secara utuh,” pungkas Dwi. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.