Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digalakkan pemerintah mendapat penolakan dari SD Muhammadiyah 1 Ketelan Solo. AndoJAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ibu negara Brasil, Janja Lula da Silva memberikan saran yang tak jauh-jauh beda amat dari guru besar UGM, Prof. Dr. R. Agus Sartono soal sistem pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pada intinya, baik pandangan Janja Lula da Silva maupun Prof. Agus Sartono sama-sama berupaya untuk mendekatkan dapur pengolahan menu MBG kepada siswa. Pasalnya, cara itu diyakni bisa memangkas banyak problem yang sering terjadi, termasuk kasus keracunan massal.
Keduanya menilai, pengelolaan makanan langsung di sekolah dapat mencegah persoalan gizi, menjaga kebersihan, dan menghindari risiko makanan basi yang belakangan menjadi sorotan publik.
Dalam kunjungannya ke Jakarta pada Jumat (24/10/2025), Ibu Negara Brasil Janja Lula da Silva menyampaikan pengalamannya kepada Badan Gizi Nasional (BGN) tentang bagaimana Brasil berhasil menjalankan program serupa. Salah satu kunci keberhasilan di negara itu, kata dia, terletak pada kemandirian dapur di setiap sekolah.
“Beliau menanyakan soal dapur di sekolah karena di Brasil memang dilakukan seperti itu. Kami juga berencana menerapkan sistem tersebut, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terpencil),” ungkap juru bicara BGN, Dian Fatwa.
Janja juga mendorong Indonesia agar lebih banyak memberdayakan bahan pangan lokal. Menurutnya, kerja sama dengan petani dan komunitas lokal penting untuk menjaga keberlanjutan program sekaligus memperkuat ekonomi desa. “Partnership dengan petani dan masyarakat ini sudah mulai dilakukan dan akan terus berkembang,” ujar Dian.
Meski demikian, ia mengakui bahwa pelaksanaan MBG di lapangan belum sepenuhnya sempurna. “Tentu belum mulus, tapi Ibu Negara cukup terkesan karena dalam 10 bulan Indonesia sudah bisa menjangkau lebih dari 30 juta penerima manfaat,” tambahnya.
Namun di sisi lain, sejumlah catatan kritis juga muncul dari kalangan akademisi. Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Dr. R. Agus Sartono, menilai ide MBG sejatinya sangat baik, tapi perlu perbaikan dalam mekanisme pelaksanaan di lapangan.
“Masalahnya bukan pada ide besar, melainkan pada delivery mechanism-nya,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, Jumat (3/10). Ia menyoroti munculnya berbagai kasus keracunan di sejumlah daerah yang menandakan masih lemahnya sistem pengawasan dan distribusi makanan.
Agus menegaskan, dapur sekolah atau kantin bisa menjadi solusi yang lebih aman dan efektif. Dengan pengelolaan langsung di satuan pendidikan, makanan bisa tersaji segar dan risiko makanan basi dapat dihindari. “Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” katanya.
Ia juga menyoroti besarnya anggaran MBG yang mencapai Rp247,95 triliun—jauh di atas dana desa nasional yang sekitar Rp71 triliun—sehingga perlu sistem yang efisien dan transparan agar tidak menimbulkan peluang penyimpangan atau rente.
“Program sebesar ini sebaiknya dijalankan dengan mekanisme yang sudah ada, seperti halnya BOS atau Kartu Indonesia Pintar, di mana pemerintah daerah diberi kewenangan penuh untuk mengatur sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,” paparnya.
Menurutnya, pemberdayaan pemerintah daerah dalam pengelolaan MBG justru akan meningkatkan efektivitas dan memastikan pengawasan lebih dekat. “BGN cukup melakukan monitoring, sedangkan daerah yang menjalankan. Dengan begitu, kualitas makanan terjaga, koordinasi mudah, dan keberhasilan program bisa lebih terukur,” tandasnya.
Dengan pandangan serupa antara Ibu Negara Brasil dan akademisi UGM ini, tampak bahwa arah pembenahan MBG ke depan akan sangat ditentukan oleh kemampuan Indonesia membangun sistem dapur sekolah yang sehat, mandiri, dan berkelanjutan. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

5 hours ago
3

















































