JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengalirkan dana pemerintah Rp 200 triliun ke perbankan untuk memperkuat kredit ke sektor riil menuai sorotan dari kalangan ekonom. Mereka menilai langkah tersebut memang bisa mendorong pertumbuhan, tetapi juga berpotensi menimbulkan risiko serius bagi stabilitas ekonomi.
Pemerintah menempatkan dana besar itu di lima bank anggota Himbara — Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI — dalam bentuk deposito on call konvensional maupun syariah. Skema ini memungkinkan penarikan dana sewaktu-waktu, sehingga diharapkan bisa mempercepat aliran kredit.
Menurut Menkeu Purbaya, bank penerima dana akan terpacu menyalurkan kredit lantaran mereka menanggung biaya dana sekitar 4 persen. “Kalau tidak dipakai, mereka sendiri yang rugi. Jadi bank akan berpikir keras menyalurkan kredit,” ujarnya di Jakarta akhir pekan lalu.
Namun, sejumlah ekonom menilai kebijakan itu belum menyentuh persoalan pokok perekonomian. Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Achmad Nur Hidayat mengingatkan, penambahan likuiditas yang terlalu agresif justru dapat menciptakan ketergantungan pada kebijakan fiskal yang ekspansif. Ia juga menyebut risiko inflasi dan tekanan nilai tukar bila kapasitas produksi tidak segera bertambah.
“Kalau sektor riil belum siap, kredit yang digelontorkan hanya memicu kenaikan harga, bukan menambah produksi,” kata Achmad, Minggu (14/9/2025).
Risiko lain, lanjut Achmad, muncul ketika daya beli masyarakat belum pulih sehingga permintaan kredit tidak bertambah. “Suplai likuiditas perbankan akhirnya hanya jadi tumpukan dana tak produktif atau bahkan disalahgunakan,” tandasnya.
Pandangan serupa disampaikan ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. Menurutnya, masalah utama saat ini bukan ketiadaan dana, melainkan stagnasi sektor riil akibat ketidakpastian hukum dan ekonomi biaya tinggi. “Bank kita sudah kelebihan likuiditas, tapi kredit jalan lambat. Likuiditas tambahan tidak otomatis menggerakkan dunia usaha,” ujarnya.
Ekonom senior Indef Fadhil Hasan menambahkan, pemerintah perlu memperhitungkan sisi permintaan. “Sebanyak apa pun dana yang digelontorkan, bila permintaan kredit lemah ya tidak akan terserap. Bisa dilihat pertumbuhan kredit nasional baru 7 persen, sementara pinjaman yang belum dicairkan justru meningkat,” paparnya.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang menunjukkan pertumbuhan kredit pada Juli 2025 hanya naik 7,03 persen secara tahunan menjadi Rp8.043,2 triliun. Sementara pinjaman yang belum dicairkan tumbuh 9,52 persen. OJK juga melaporkan sebagian besar bank di tanah air merevisi turun target penyaluran kredit tahun ini.
Meski demikian, OJK menilai revisi target kredit masih sejalan dengan kebutuhan menjaga stabilitas sistem keuangan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut revisi itu sebagai langkah adaptif menghadapi dinamika global dan domestik.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan strategi Purbaya yang justru menaruh harapan besar pada tambahan likuiditas. Ia menyebut kebijakan itu sebagai “senjata” untuk memaksa perbankan bekerja lebih keras mencari keuntungan lewat penyaluran kredit.
Para ekonom menegaskan, agar kebijakan ini berhasil, pemerintah perlu membarenginya dengan pembenahan iklim usaha, kepastian hukum, dan dorongan produksi. Tanpa itu, tambahan likuiditas hanya akan menjadi “bensin” tanpa mesin. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.