TGPF Resmi Gugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon

21 hours ago 4
Aktivis Sandyawan Sumardi atau yang dulu sering disapa dengan Romo Sandy | Wikipedia

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Pernyataan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon yang meragukan adanya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 berujung pada gugatan hukum. Sejumlah tokoh dan organisasi yang selama puluhan tahun mendampingi korban tragedi itu resmi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Kamis (11/9/2025).

Langkah hukum ini ditempuh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas bersama tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam pengungkapan fakta kerusuhan Mei 1998. Nama-nama seperti Marzuki Darusman (mantan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998), Ita Fatia Nadia (pendamping korban pemerkosaan), Kusmiyati (perwakilan keluarga korban), serta Sandyawan Sumardi (Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan/TRUK) tercatat sebagai penggugat. Beberapa lembaga, antara lain Yayasan LBH Indonesia, Kalyanamitra, dan IPTI juga ikut menggugat secara kelembagaan.

Kuasa hukum para penggugat, Jane Rosalina, menjelaskan gugatan ini berkaitan dengan tindakan administratif pemerintah berupa pernyataan Fadli Zon pada siaran resmi Kementerian Kebudayaan dan unggahan akun media sosial kementerian maupun pribadi Fadli Zon pada Juni 2025. Pernyataan tersebut dinilai meragukan bahkan menyangkal pemerkosaan massal yang menimpa perempuan etnis Tionghoa pada peristiwa Mei 1998.

Menurut Koalisi, pernyataan Fadli Zon melanggar sejumlah ketentuan, termasuk UU Administrasi Pemerintahan, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Pengadilan HAM. Gugatan ini teregistrasi dengan Nomor 303/G/2025/PTUN-JKT.

“Kami yang Pertama Mendengar Kesaksian Korban”

Sandyawan Sumardi, aktivis sosial yang saat itu sering dikenal sebagai Romo Sandy, menegaskan penyangkalan Fadli Zon sama saja dengan meruntuhkan kerja panjang tim pencari fakta yang telah dibentuk negara. Sebagai Koordinator TRUK, ia bersama relawan membuka posko-posko pengaduan pada masa kerusuhan, bahkan sebelum TGPF resmi dibentuk.

“Waktu itu kami menerima aduan ratusan orang setiap hari, termasuk korban kekerasan seksual. Mendapatkan kesaksian mereka tidak mudah. Korban hanya mau bercerita jika benar-benar percaya,” ujar Sandyawan dalam konferensi pers daring, Kamis (11/9/2025).

Ia menambahkan, relawan TRUK tersebar di berbagai kota, termasuk Jakarta, Surabaya, Solo, dan Palembang. Mobilitas tinggi dan keberanian mendatangi titik-titik kekerasan membuat TRUK menjadi salah satu pihak pertama yang mendokumentasikan jejak tragedi tersebut.

TGPF Disebut Paling Lengkap Sepanjang Sejarah

Sandyawan yang kemudian ditunjuk menjadi anggota TGPF menyebut tim ini sebagai pencari fakta paling komprehensif yang pernah dibentuk. TGPF berdiri berdasarkan Keputusan Presiden B.J. Habibie dan melibatkan perwakilan pemerintah, aparat keamanan, lembaga independen, serta masyarakat sipil.

“Kami bisa memanggil pejabat militer, intelijen, hingga tokoh kunci yang diduga tahu peristiwa itu. Tidak pernah ada tim pencari fakta sekuat ini sebelumnya,” kata Sandyawan. Menurutnya, hasil kerja TGPF bahkan sempat dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bukti keseriusan Indonesia menghadapi kasus pelanggaran HAM berat.

Ia menilai penyangkalan Fadli Zon sebagai upaya membatasi akses publik terhadap kebenaran sejarah. “Ini berbahaya karena menggiring masyarakat pada narasi tunggal yang diproduksi kekuasaan,” imbuhnya.

Marzuki Darusman: Gugatan Ini Demi Korban

Sementara itu, Marzuki Darusman menegaskan gugatan ke PTUN dimaksudkan bukan untuk menyerang individu, tetapi untuk melindungi para korban yang selama ini masih menanti pertanggungjawaban negara.

“Pemerintah sebelumnya sudah mengakui peristiwa Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Pemerintahan sekarang tinggal melanjutkan penyelesaiannya,” tutur Marzuki.

Ia mengingatkan, permintaan maaf yang pernah disampaikan pemerintah terhadap korban tragedi Mei harus diikuti langkah nyata agar impunitas tidak berlanjut.

Latar Belakang Pernyataan Fadli Zon

Fadli Zon menuai kritik usai dalam sebuah siniar mempertanyakan bukti “keras” pemerkosaan massal Mei 1998. Ia menyebut laporan TGPF hanya berisi angka tanpa data pendukung yang solid. Menurutnya, publik perlu berhati-hati agar tidak mempermalukan nama bangsa dengan menyebarkan informasi yang belum teruji secara hukum.

Komentar itu memicu kemarahan berbagai elemen masyarakat sipil yang sejak 1998 mendampingi korban, terutama perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka menilai pernyataan Fadli Zon bukan saja menyakitkan, tetapi juga berpotensi menghapus jejak sejarah dan meruntuhkan kerja panjang pencari fakta.

Dengan gugatan ini, para penggugat berharap negara tetap berpijak pada komitmen keadilan bagi korban dan tidak menyerahkan narasi sejarah pada tafsir politik yang berubah-ubah. [*] Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|