Para pembicara tengah memaparkan materinya dalam acara Gelar Potensi Literasi dan Launching Buku Toponimi “Dari Gebang ke Gedongan” di Pendapa Balai Kalurahan Wedomartani, Senin (3/11/2025) | Foto: IstimewaSLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM — Tak banyak yang tahu, sejumlah nama dusun di wilayah Sleman ternyata lahir dari nama-nama tumbuhan. Namun kini, banyak di antara tanaman itu justru tak lagi ditemukan di tanah asalnya. Fenomena inilah yang mendorong Pemerintah Kalurahan Wedomartani, Kapanewon Ngemplak, Sleman, menggelar gerakan literasi sekaligus upaya pelestarian lingkungan.
Langkah tersebut terwujud dalam kegiatan Gelar Potensi Literasi dan Launching Buku Toponimi “Dari Gebang ke Gedongan” yang berlangsung di Pendapa Balai Kalurahan Wedomartani, Senin (3/11/2025). Acara ini menjadi bagian dari rangkaian Merti Desa dalam rangka memperingati HUT ke-79 Kalurahan Wedomartani.
Kamituwa Wedomartani, Mujiburrokhman, mengungkapkan, banyak tanaman yang dahulu menjadi inspirasi nama dusun kini nyaris tak dikenali masyarakat. Ia mencontohkan pohon gebang yang menjadi asal nama Dusun Gebang, namun kini sudah sulit dijumpai.
“Dari nama-nama tempat itu kita bisa mengenali sejarah lingkungan. Tapi ironisnya, tanamannya justru sudah punah. Karena itu, kami bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Sleman untuk menanam kembali tanaman-tanaman langka tersebut,” ujar Mujiburrokhman yang juga turut menjadi penulis buku toponimi tersebut.
Beberapa tanaman yang menjadi fokus pelestarian antara lain gebang (Corypha lecomtei), asem (Tamarindus indica), gembolo (Dioscorea bulbifera), pucang (Pterospermum diversifolium), gayam (Inocarpus figeferus), kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum), kepuh (Sterculia foetida), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Kegiatan diskusi dalam peluncuran buku itu juga menghadirkan Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Lembaga Budaya Dinas Kebudayaan DIY, Agus Suwarto, S.Sos, serta Dosen FIB UGM, Dr. Wiwien Widyawati Rahayu.
Agus Suwarto mengapresiasi buku “Dari Gebang ke Gedongan” sebagai karya literasi istimewa karena memadukan unsur dokumentasi sejarah dan narasi sastra.
“Ini bukan sekadar dokumen, tapi juga karya yang enak dibaca. Lebih dari itu, ini adalah buku toponimi pertama di level kalurahan di DIY. Kami berharap bisa menjadi inspirasi bagi kalurahan budaya lainnya,” tuturnya, seperti dikutip dalam rilisnya ke Joglosemarnews.
Sementara itu, Dr. Wiwien menekankan pentingnya penulis toponimi memahami metodologi agar hasil tulisan lebih kuat secara ilmiah.
“Buku ini seperti menyusun potongan puzzle desa. Ke depan, kita perlu memperkuatnya dengan metodologi cerita lisan agar tradisi menulis semakin hidup di masyarakat,” ujarnya.
Lurah Wedomartani H. Teguh Budiyanto menambahkan, kegiatan literasi ini merupakan bagian dari upaya membangun kesadaran sejarah dan kebanggaan warga terhadap desanya sendiri.
“Dengan membaca dan menulis, kita membuka jendela dunia. Buku ini menjadi warisan pengetahuan bagi generasi muda agar mereka tidak kehilangan jejak sejarah dan identitas lokalnya,” tutur Teguh. [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

10 hours ago
2

















































