JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Akan seperti apa jadinya jika media massa berada dalam kendali pihak-pihak tertentu, dibeli pihak tertentu demi kepentingan tertentu? Di tengah situasi semacam ini, marwah insan pers sebagai pilar demokrasi dan pengawas jalannya kekuasaan bisa terancam pudar, kehilangan ketajamannya dalam menjaga akuntabilitas pemerintah.
Itulah yang kini menjadi sorotan publik setelah Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Tian diduga menjadi aktor intelektual dalam upaya sistematis yang bertujuan merusak citra Kejagung melalui penyebaran informasi yang menyesatkan.
Menurut Kejaksaan Agung, Tian menerima uang sebesar Rp478,5 juta dari dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, sebagai imbalan atas penyebaran konten negatif yang menyerang Kejagung. Uang tersebut diterima Tian secara pribadi, tanpa melalui mekanisme perusahaan, tanpa kontrak kerja, dan tanpa sepengetahuan manajemen JAK TV.
“Rp478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” ungkap Juru Bicara Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers pada Selasa (22/4/2025). Ia menegaskan bahwa uang itu bukan untuk perusahaan dan tidak ada kaitannya dengan jabatan Tian sebagai Direktur Pemberitaan.
Tak hanya menyebar konten lewat media sosial, Tian juga disebut aktif dalam berbagai kegiatan yang dirancang untuk membentuk opini negatif terhadap institusi penegak hukum. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa upaya tersebut mencakup pendanaan demonstrasi, penyelenggaraan seminar, pengaturan isi program televisi, hingga produksi konten media sosial.
Meski demikian, saat digiring ke mobil tahanan, Tian membantah telah mengarahkan atau menitipkan berita ke media mana pun. “Nggak ada, kita sama-sama satu profesi,” ujarnya singkat.
Salah satu narasi yang disorot adalah soal kerugian keuangan negara dalam sejumlah perkara. Perhitungan tersebut ternyata tidak akurat dan dianggap menyesatkan publik.
Menanggapi kasus ini, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan bahwa pihaknya tidak akan turut campur dalam proses hukum. Namun, Dewan Pers tetap akan menjalankan kewenangannya dalam menilai apakah konten yang dimaksud merupakan produk jurnalistik atau tidak, serta apakah terjadi pelanggaran kode etik oleh oknum jurnalis.
“Pers dituntut bekerja secara profesional, menjunjung tinggi etika, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi maupun politik,” tegas Ninik.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa kebebasan pers bukanlah alat dagang atau senjata politik. Ia adalah amanah, dan jika disalahgunakan, yang hilang bukan hanya kepercayaan publik—melainkan juga ruh demokrasi itu sendiri.