LG Batal Investasi US$7,7 Miliar,  Bagaimana Nasib Hilirisasi?

14 hours ago 7
Pabrik baterai mobil listrik Honda dan LG Energy Solution | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Keputusan LG Energy Solution (LGES) membatalkan proyek baterai kendaraan listrik senilai US$7,7 miliar menjadi pukulan telak sekaligus peringatan penting bagi Indonesia. Proyek raksasa yang digadang-gadang bakal memperkuat ekosistem kendaraan listrik nasional itu, kini hanya menyisakan pertanyaan tentang arah kebijakan hilirisasi dan kesiapan Indonesia dalam menarik serta mempertahankan investasi strategis.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Fathul Nugroho, menilai mundurnya LGES dari Proyek Titan merupakan momen reflektif.

Ia menekankan bahwa Indonesia tidak bisa terus bertumpu pada satu mitra asing dalam membangun industri bernilai tinggi seperti baterai EV.

“Ini pengingat bahwa kita harus memperluas jejaring investasi dan membangun kemandirian dari dalam negeri. Hilirisasi tak bisa berdiri di atas satu kaki,” ujarnya, Selasa (22/4/2025).

Proyek tersebut sejatinya dirancang sebagai kolaborasi penuh antara LGES dan Indonesia Battery Corporation (IBC), mulai dari pengolahan nikel hingga produksi sel baterai. Gagalnya proyek ini tak hanya menghantam target produksi nasional, tetapi juga berisiko memupus peluang emas dalam alih teknologi.

Fathul mengingatkan, elemen seperti prekursor dan katoda merupakan komponen bernilai tinggi yang seharusnya bisa menjadi lompatan besar dalam meningkatkan nilai tambah mineral nasional. Ketika teknologi itu gagal hadir karena mitra asing menarik diri, maka ketergantungan terhadap impor akan makin sulit dihindari.

Ia juga menyoroti potensi dampak psikologis terhadap investor global. Dalam lanskap persaingan ketat dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam, citra Indonesia bisa tergerus bila tak segera melakukan konsolidasi kebijakan dan diplomasi investasi yang lebih progresif.

Salah satu faktor yang tak bisa diabaikan, menurut Fathul, adalah pengaruh kebijakan luar negeri seperti Inflation Reduction Act di Amerika Serikat. Kebijakan itu memberi insentif besar kepada produsen baterai di wilayah mereka, sehingga tak sedikit investor yang mengalihkan arah dari Asia Tenggara ke AS.

Menjawab tantangan tersebut, Aspebindo mengusulkan lima langkah konkret. Pertama, memperluas mitra strategis dengan membuka kembali negosiasi bersama perusahaan global seperti Tesla, Eramet, dan Bosch, dengan skema insentif fiskal yang lebih agresif. Kedua, memangkas hambatan regulasi, termasuk penyederhanaan perizinan dan kemudahan penyediaan lahan industri.

Langkah ketiga, memperkuat sinergi lintas sektor antara pemerintah, BUMN, dan swasta nasional. Menurut Fathul, IBC harus lebih terbuka menjalin kerja sama teknologi dan membeli hak kekayaan intelektual melalui dana patungan yang melibatkan pelaku usaha nasional.

Keempat, Aspebindo mendorong agar 20 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Minerba—yang bisa mencapai Rp 40 triliun per tahun—dialokasikan khusus untuk mendorong hilirisasi. Dana ini bisa menjadi bahan bakar utama bagi riset dan pengembangan teknologi baterai nasional.

Terakhir, surplus listrik dari program 35.000 MW dinilai bisa dimanfaatkan untuk mendukung kawasan industri baterai dengan tarif khusus. Diplomasi perdagangan juga perlu ditingkatkan untuk menekan bea masuk produk baterai Indonesia ke pasar besar seperti AS, yang saat ini masih mencapai 32 persen.

Meski kehilangan satu investor utama, Fathul meyakini hilirisasi nikel tetap menjadi masa depan strategis Indonesia. “Potensi kita luar biasa. Tinggal bagaimana kita menjaga konsistensi dan membangun kekuatan dari dalam,” ujarnya.  

www.tempo.co

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|