WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Rakyat kecil kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan: lahan bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut terancam diambil alih negara.
Kebijakan ini sontak memicu kekhawatiran, terutama di kalangan masyarakat desa yang memiliki lahan namun belum mampu mengelolanya secara optimal.
“Jika dalam dua tahun setelah disertifikatkan tidak ada aktivitas ekonomi atau pembangunan apa pun, maka tanah itu bisa dikategorikan sebagai tanah telantar dan akan diambil alih pemerintah,” tegas Nusron dalam Rakernas I PB IKA-PMII Periode 2025-2030 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/7).
📌 Tak Hanya Teguran, Tanah Bisa Dicabut Haknya
Proses pengambilalihan tidak terjadi seketika. Dimulai dari pemberitahuan awal, kemudian surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Bila dalam kurun waktu total 587 hari atau hampir dua tahun setengah tidak ada aktivitas berarti, maka tanah akan resmi dinyatakan sebagai tanah telantar dan menjadi objek reforma agraria.
“Kalau setelah semua peringatan itu masih tidak dimanfaatkan, maka BPN akan menetapkan sebagai tanah telantar. Pemerintah bisa ambil alih,” jelas Nusron.
⚠️ Semua Jenis Sertifikat Tanah Bisa Kena: HGU, HGB, Hak Pakai
Yang membuat makin miris, kebijakan ini tidak pandang bulu. Berlaku untuk semua bentuk hak atas tanah—mulai dari Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hak pakai, bahkan hak milik sekalipun. Tak ada pengecualian.
Bayangkan jika petani kecil atau keluarga sederhana yang hanya punya sepetak lahan namun belum sanggup mengolahnya karena keterbatasan modal atau tenaga, lalu tiba-tiba tanah itu ditetapkan sebagai telantar.
😰 Ada 1,4 Juta Hektare Tanah Terlantar,
Rakyat atau Korporasi yang Jadi Sasaran?
Dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia, sebanyak 1,4 juta hektare sudah berstatus tanah terlantar. Pemerintah menyebut ini bagian dari program reforma agraria. Namun muncul pertanyaan tajam: apakah kebijakan ini akan menyasar korporasi besar, atau justru rakyat kecil yang paling duluan dilibas aturan?
Pasal 6 PP Nomor 20 Tahun 2021 mengatur bahwa tanah telantar mencakup berbagai kategori—mulai dari pertambangan, industri, hingga pariwisata dan perumahan skala besar. Namun di lapangan, justru lahan milik rakyat kecil yang paling mungkin tidak dimanfaatkan secara maksimal karena keterbatasan sumber daya.
🧩 Mau Dibawa ke Mana Nasib Rakyat Kecil?
Di tengah perekonomian yang belum juga baik baik saja, cuaca ekstrem, dan keterbatasan permodalan, kebijakan ini justru seperti menambah tekanan bagi pemilik lahan kecil. Bukannya dibantu mengelola tanah, malah diancam dicabut haknya.
Kalau tanah sudah disertifikatkan tapi belum bisa diapa-apakan karena kendala ekonomi, apakah wajar bila langsung dianggap “telantar”? Rakyat kecil hanya bisa bertanya: mau dibawa ke mana nasib kami? Aris Arianto
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.