JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ditunggu hingga tengah malam namun tak kunjung datang, Kejaksaan Agung akhirnya menjemput paksa Hakim Djuyamto pada Minggu (13/4/2025). Ia adalah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara mega korupsi minyak goreng.
Penjemputan paksa dilakukan setelah Djuyamto mangkir dari panggilan pemeriksaan oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, penyidik sudah memberikan kesempatan dan waktu cukup lama bagi Djuyamto untuk hadir.
“Sudah kami tunggu sampai malam ini, namun tidak juga datang. Berdasarkan informasi terakhir, penyidik sedang melakukan penjemputan,” ujar Harli di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Harli mengungkapkan bahwa sempat beredar kabar Djuyamto datang ke kantor Kejagung pada Minggu dini hari sekitar pukul dua. Namun, kedatangan itu tidak terkoordinasi dengan tim penyidik sehingga keberadaannya tidak terdeteksi secara resmi.
“Kami hanya menerima informasi bahwa yang bersangkutan sempat ke kantor. Tapi tidak terinformasikan ke penyidik. Sampai sekarang kami belum tahu apakah dia akan kembali,” kata Harli.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyampaikan bahwa Kejagung sudah mencoba menjemput tiga hakim yang menangani perkara tersebut sejak Sabtu (12/4/2025). Namun, penjemputan gagal karena ketiganya tidak berada di Jakarta.
“Pas hari libur, mereka sedang di luar kota. Tapi tim tetap proaktif melakukan penjemputan ke rumah masing-masing,” kata Qohar saat konferensi pers di Kejagung.
Sementara itu, dua hakim lainnya yang ikut menangani perkara ini, yakni Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom, telah hadir dan sedang menjalani pemeriksaan intensif oleh tim penyidik. Keduanya digali keterangannya terkait dugaan keterlibatan dalam permainan vonis bebas terhadap tiga perusahaan raksasa sawit.
Diketahui, pada 19 Maret 2024, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memutus lepas tiga korporasi—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—dari jeratan hukum kasus ekspor minyak goreng. Ketiga perusahaan tersebut sejatinya dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana oleh jaksa, namun dinilai tidak bisa dijatuhi hukuman karena alasan hukum tertentu oleh majelis hakim.
Belakangan, Kejaksaan Agung membongkar dugaan praktik suap di balik vonis tersebut. Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG), serta dua advokat Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR).
Arif disebut menerima suap senilai Rp 60 miliar dari dua advokat tersebut melalui perantara Wahyu. Saat vonis perkara minyak goreng dijatuhkan, Arif menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat—posisi strategis yang diduga turut memengaruhi arah putusan majelis hakim.