JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai sistem pengawasan Mahkamah Agung (MA) sangat buruk dan kembali terbukti jebol, menyusul terungkapnya kasus suap yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara vonis lepas korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).
“Artinya sistem pengawasan Mahkamah Agung sangat buruk. Sebelumnya Surabaya jebol, sekarang Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat pun jebol. Ini satu rangkaian,” ujar Boyamin saat dihubungi, Rabu (16/4/2025).
Menurut Boyamin, serangkaian kasus yang menjerat lembaga peradilan, mulai dari Sekretaris MA Nurhadi, mantan Ketua MA Hasbi Hasan, hingga kasus-kasus suap di sejumlah pengadilan negeri, tidak kunjung menyadarkan MA untuk membenahi sistem pengawasannya secara menyeluruh.
“Mahkamah Agung belum mampu mereformasi dirinya. Masih banyak yang tergoda, bahkan menurut saya levelnya bukan hanya tergoda, tapi minta digoda,” tandasnya.
Dalam kasus ini, tiga hakim PN Jakarta Pusat diduga menerima uang suap senilai Rp 22,5 miliar terkait putusan lepas (ontslag) terhadap tiga korporasi ekspor CPO. Ketiganya adalah Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin sebagai hakim anggota, dan Ali Muhtarom sebagai hakim Ad Hoc. Ketiganya kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa uang suap tersebut diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama, sebesar Rp 4,5 miliar dalam bentuk dolar, diserahkan oleh Muhammad Arif Nuryanta, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat kepada Djuyamto dan Agam setelah terbitnya surat penetapan sidang.
“Uang tersebut disebut sebagai biaya baca berkas perkara. Setelah menerima, Agam memasukkan uang ke dalam goodie bag dan membaginya kepada Djuyamto dan Ali,” jelas Qohar dalam jumpa pers, Senin (14/4/2024).
Tahap kedua, pada September atau Oktober 2024, Djuyamto menerima uang tambahan senilai Rp 18 miliar dari Arif. Uang ini dibagikan di depan Bank BRI wilayah Pasar Baru, dengan pembagian: Agam Rp 4,5 miliar, Djuyamto Rp 6 miliar, dan Ali Rp 5 miliar.
Total, ketiga hakim tersebut menerima uang sebesar Rp 22,5 miliar untuk memengaruhi putusan perkara korupsi ekspor CPO agar vonisnya lepas.
Kejagung juga menetapkan tersangka baru dalam kasus ini, yakni Muhammad Syafei, Legal Officer PT Wilmar Group. Ia disebut berperan menyediakan dana untuk menyuap hakim melalui dua advokat: Marcella Santoso dan Ariyanto Bahri.
Menurut Qohar, suap ini berawal dari pertemuan antara Ariyanto dengan Wahyu Gunawan, Panitera Muda PN Jakarta Utara. Wahyu menyampaikan bahwa perkara minyak goreng harus diurus agar putusannya tidak memberatkan. Informasi ini diteruskan ke Marcella, yang kemudian menemui Syafei di rumah makan Daun Muda, Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan itu, Syafei menyatakan telah membentuk tim dan menyanggupi permintaan biaya yang disebutkan, yakni Rp 20 miliar. Namun, dalam pertemuan berikutnya di Rumah Makan Layer Seafood, mantan Wakil Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta mengultimatum agar uang diperbesar menjadi Rp 60 miliar.
Uang tersebut kemudian dipersiapkan oleh Syafei dalam bentuk dolar AS atau dolar Singapura. Setelah diserahkan ke Ariyanto, uang itu disalurkan ke Wahyu, lalu diteruskan ke Arif Nuryanta yang kebagian jatah Rp 800 juta.
“Setelah penyidik mendapatkan dua alat bukti, maka ditetapkanlah MSY (Muhammad Syafei) sebagai tersangka,” tegas Qohar.
Kasus ini menjadi pukulan telak bagi integritas peradilan di Indonesia dan memunculkan kembali desakan publik agar Mahkamah Agung melakukan reformasi internal secara serius dan menyeluruh.