ICW Sebut 29 Hakim Disuap Sejak 2011-2024, Masih Pantaskah Disebut “Yang Mulia”?

2 days ago 13
Tiga hakim ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. ICW menyoroti kasus hakim menjadi tersangka suap vonis onslag. ICW menyebut hakim yang disuap dari 2011-2024 mencapai 29 orang dengan total nilai suap mencapai Rp107 miliar | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sebanyak 29 orang hakim telah terjerat kasus suap sejak tahun 2011 hingga 2024, lantaran diduga melakukan kongkalingkong terkait dengan putusan kasus yang sedang mereka tangani.
Fakta tersebut diungkap oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha. Adapun nilai suap dari para hakim tersebut secara total mencapai sekitar Rp 107 miliar.
“Berdasarkan pemantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi,” ujarnya.
Nah, dengan fakta tersebut, masih pantaskah para hakim di tanah air disebut sebagai “Yang Mulia” di persidangan?
“Mereka diduga menerima suap untuk ‘mengatur’ hasil putusan. Nilai suap mencapai Rp 107.999.281.345,” kata Egi dalam siaran pers yang dikutip dari laman ICW, Kamis (16/4/2025).

Fakta itu, menurut Egi, menjadi bukti nyata bahwa lembaga peradilan Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat integritas.
ICW menilai praktik suap-menyuap dalam penjatuhan vonis bukan lagi persoalan kasuistik, melainkan sudah menjelma sebagai praktik sistemik yang kronis.

“Perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola internal Mahkamah Agung (MA). Praktik jual-beli vonis ini adalah gejala dari bahaya mafia peradilan yang selama ini dibiarkan tumbuh subur,” tegas Egi.

Ia mendorong MA untuk tak lagi menutup mata dan mulai memandang keberadaan mafia peradilan sebagai ancaman laten. Untuk itu, kerja sama dengan Komisi Yudisial, KPK, serta elemen masyarakat sipil dinilai mutlak diperlukan guna memetakan dan menutup celah korupsi dalam tubuh lembaga peradilan.

“Pengawasan terhadap kinerja hakim, termasuk seleksi dan penerimaannya, harus diperketat. Jangan sampai ruang korupsi malah dibuka sejak awal karier,” ujarnya.

Dalam kasus terkini, aroma busuk peradilan kembali mencuat ke permukaan setelah empat hakim diduga menerima suap dalam putusan lepas (onslag) terhadap tiga raksasa korporasi sawit: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Empat hakim tersebut adalah Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, serta tiga hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat: Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Egi menyebut bahwa kasus ini memperlihatkan bagaimana korporasi besar dengan mudah memperoleh impunitas hukum hanya dengan menyuap aparat peradilan.

“Industri kelapa sawit di Indonesia telah berubah menjadi kekuatan oligarki. Mereka menguasai dari hulu hingga hilir—dari sawit mentah hingga minyak goreng. Segelintir grup besar seperti Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas bisa menentukan arah keadilan dengan uang,” tandasnya.

Menurut ICW, kondisi ini tak lepas dari pembiaran oleh negara. Ketika korporasi terus-menerus mendapatkan keistimewaan dan perlindungan, penegakan hukum kehilangan daya gigitnya.

Padahal, kata Egi, perangkat hukum untuk menjerat korporasi sebenarnya sudah tersedia. Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 serta Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 memungkinkan korporasi dijadikan subjek hukum dalam perkara korupsi. Sayangnya, instrumen ini jarang digunakan.

“Penegak hukum masih ragu menerapkan tanggung jawab pengganti atau vicarious liability. Akibatnya, korporasi besar seolah kebal hukum,” kritiknya.

Ia juga menyoroti lemahnya dasar hukum pemidanaan korporasi dalam UU Hukum Acara Pidana yang ada sekarang. Untuk itu, Egi mendesak adanya revisi UU agar interpretasi hukum terhadap korporasi bisa lebih tegas dan seragam.

Sebagai informasi, dalam kasus suap vonis onslag ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan delapan tersangka, terdiri atas empat hakim, satu panitera, dua pengacara korporasi, dan satu pihak swasta.

Selain para hakim, dua nama pengacara korporasi yang terjerat adalah Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri. Teranyar, Kejagung juga menahan Muhammad Syafei, Head of Social Security and License Wilmar Group, sebagai tersangka baru dari pihak korporasi.  

www.tribunnews.com

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|