JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ibarat bunga, program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan ini layu sebelum berkembang, alias macet karena kukut. Suasana di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di kawasan itu pun kini sepi, tak ada kegiatan.
Padahal, dapur dengan luas sekitar 500 meter persegi itu dibangun dengan perlengkapan memadai untuk mendukung jalannya program. Namun sayang, harapan besar di awal pelaksanaan justru berubah menjadi deretan persoalan teknis dan administratif yang pelik.
Ira Mesra Destiawati, mitra dapur MBG di Kalibata, mengungkapkan bahwa sejak awal ia ditunjuk sebagai kepala dapur tanpa penjelasan yang jelas soal tanggung jawab dan mekanisme kerja. Demi menyukseskan program andalan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Ira tetap melangkah.
“Kami jalan saja, mulai dari pengadaan bahan pangan, proses memasak, sampai pendistribusian makanan ke 19 sekolah yang ditunjuk,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (15/4/2025).
Namun dalam perjalanannya, banyak kebijakan berubah tanpa sosialisasi. Salah satunya soal anggaran makan per anak yang mendadak dibedakan, dari semula Rp 15.000 menjadi Rp 13.000 untuk anak PAUD hingga kelas 3 SD. Anehnya, tidak ada penyesuaian porsi yang diminta—sementara dapur tetap diminta menyediakan sesuai standar awal.
Tak berhenti di situ, Ira juga mendapat tekanan dalam bentuk hinaan personal, bahkan dianggap tak kompeten hanya karena ada kekurangan dalam penyediaan bahan.
“Saya dihina secara fisik lewat pesan WA. Katanya saya tidak bisa membedakan beras dengan pasir. Itu sangat menyakitkan,” ungkapnya.
Masalah makin runyam saat pencairan dana. Dana operasional yang seharusnya diberikan kepada pihak dapur, ternyata langsung dikirim ke rekening yayasan tanpa penjelasan yang transparan. Saat ditagih, pihak yayasan berdalih bahwa invoice yang dikirimkan selalu dinilai salah.
“Saya dan tim sudah bekerja siang malam, bahkan dipuji saat uji rasa. Tapi setelah itu justru diperlakukan semena-mena,” tuturnya lirih.
Kuasa hukum Ira, Danna Harly Putra, mengungkapkan bahwa kliennya sudah memasak lebih dari 65.000 porsi makanan dalam dua tahap. Bahkan, demi kelangsungan dapur, Ira sempat menjual aset pribadi dan mencari investor.
Ironisnya, saat pembayaran tahap pertama sebesar Rp 386 juta dari BGN telah dikirimkan ke yayasan, Ira justru tak menerima sepeser pun. Alasannya, ia dianggap punya tanggungan kekurangan pembayaran hingga Rp 45 juta, karena adanya invoice dari pihak SPPG yang dibebankan secara sepihak.
Lebih memprihatinkan, segala biaya operasional, mulai dari bahan pangan, peralatan, sewa tempat, hingga gaji juru masak, semuanya ditanggung Ira.
“Kami juga tidak diberi akses untuk mengetahui ke mana makanan dikirim dan bagaimana penyusunan laporan ke BGN. Semua tertutup,” jelas Harly.
Pihaknya kini tengah menyiapkan langkah hukum terhadap yayasan berinisial “MBN”, baik dalam bentuk gugatan perdata maupun laporan pidana.
“Ini soal keadilan. Program MBG ini bagus, tapi pelaksanaannya harus manusiawi dan transparan. Jangan sampai mitra seperti Bu Ira menjadi korban sistem yang kacau,” tegas Harly.
Ira sendiri berharap masih bisa berkontribusi dalam program tersebut, mengingat kontrak kerja sama berlaku lima tahun. Namun ia meminta adanya perlindungan yang jelas bagi para mitra, serta perbaikan menyeluruh dari sisi manajemen dan koordinasi di lapangan.
“Program ini bisa jadi berkah bagi banyak anak. Tapi hanya jika dikerjakan dengan hati dan tanggung jawab,” pungkasnya.