Pakar Sebut Kebijakan Efisiensi dari Pemerintah Tidak Tepat, Ini Alasannya

2 days ago 8
Kios-kios parsel dan hampers lebaran di Pasar Kembang Cikini, Jakarta Pusat, sepi pembeli di H-3 lebaran, di Jakarta, 28 Maret 2025 | tempo.co

DENPASAR, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemerintah perlu waspada. Pasalnya penurunan daya beli masyarakat yang berlarut-larut dapat mendorong Indonesia menuju krisis ekonomi.

Kondisi seperti ini semakin nyata setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi secara tahunan (year-on-year) sebesar 0,09 persen pada Februari 2025, yang merupakan pertama kalinya sejak Maret 2000.

Deflasi juga terjadi secara bulanan (month-to-month) selama dua bulan berturut-turut, yakni 0,76 persen pada Januari dan 0,48 persen pada Februari 2025.

Dosen program studi ekonomi pembangunan Universitas Udayana, Ida Ayu Meisthya Pratiwi, menilai kondisi ini sebagai anomali konsumsi rumah tangga yang mencerminkan lesunya daya beli masyarakat.

“Penurunan ini harus diperhatikan dan diantisipasi oleh pemerintah, terlebih dengan kebijakan efisiensi anggaran yang bisa membawa efek berantai terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu (29/3/2025).

Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan kebijakan ekspansif guna merangsang pertumbuhan ekonomi. Penurunan konsumsi masyarakat bisa menjadi tantangan besar, terutama karena Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada tahun ini.

Efisiensi yang Tidak Tepat

Hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menunjukkan deflasi sebesar 0,09 persen pada Februari 2025. Pemerintah diharapkan mencermati serta mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat.

Meisthya menyayangkan langkah pemerintah dalam merespons situasi ini. Menurutnya, alih-alih mendorong konsumsi dengan kebijakan ekspansif, pemerintah justru menerapkan efisiensi anggaran.

“Efisiensi itu baik dalam meningkatkan efektivitas belanja, tetapi kurang tepat di saat kondisi ekonomi global sedang tidak stabil,” katanya.

Ia juga menyoroti kebijakan kenaikan pajak barang mewah yang semakin menekan konsumsi masyarakat. “Struktur ekonomi Indonesia lebih banyak dipengaruhi sektor riil dibanding sektor keuangan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor riil,” jelasnya.

Dampak Deflasi

Meisthya menegaskan bahwa deflasi bukanlah pertanda baik bagi perekonomian. Bahkan, Bank Indonesia menargetkan inflasi 1,5-3,5 persen untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Deflasi juga berisiko meningkatkan angka pengangguran, sebagaimana teori kurva Phillips yang menunjukkan hubungan terbalik antara inflasi dan tingkat pengangguran.

Ia pun mengingatkan pemerintah agar lebih peka terhadap kondisi ini dengan mendorong investasi dan pengembangan sektor ekonomi potensial yang berorientasi pada sektor riil. Selain itu, peninjauan kembali terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Selain kebijakan fiskal, Meisthya juga menyoroti pentingnya kualitas kelembagaan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. “Investasi asing maupun domestik sangat bergantung pada faktor kelembagaan yang berkualitas,” tambahnya.

Meskipun efisiensi anggaran diterapkan, Meisthya menyarankan agar pemerintah merelaksasi pajak penghasilan guna meningkatkan daya beli masyarakat.

“Saat ini pajak masih tinggi, anggaran diefisiensi, sehingga pasti berdampak pada konsumsi. Kebijakan moneter juga harus mengimbangi kebijakan fiskal agar stabilisasi nilai rupiah tetap terjaga,” katanya.

Pemerintah Membantah

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah bahwa deflasi yang terjadi mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat. Menurutnya, penurunan harga terjadi akibat kebijakan pemerintah, bukan karena lesunya konsumsi masyarakat. “Banyak yang berasumsi bahwa deflasi terjadi karena masyarakat lesu. Tidak juga,” kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan pada Kamis (13/3/2025).

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menambahkan bahwa deflasi tahunan terakhir kali terjadi hampir 25 tahun lalu, yakni pada Maret 2000 dengan tingkat deflasi 1,1 persen year-on-year. Pada Februari 2025, Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 105,48.

Menurut BPS, deflasi tahunan kali ini didominasi oleh kelompok bahan makanan. Dengan kondisi ini, tantangan ekonomi yang dihadapi pemerintah semakin besar dalam menjaga keseimbangan antara kebijakan fiskal dan moneter guna mempertahankan stabilitas ekonomi nasional.  

www.tempo.co

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|