JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kekerasan terhadap jurnalis perempuan semakin menguat di tengah situasi politik yang didominasi kepemimpinan militeristik dan jauh dari supremasi sipil. Jurnalis perempuan tidak hanya menghadapi ancaman dalam bentuk fisik, tetapi juga serangan digital, pelecehan seksual, hingga femisida.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam berbagai bentuk kekerasan yang dialami jurnalis perempuan, baik dalam peliputan maupun di ranah digital. Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menegaskan bahwa serangan terhadap jurnalis perempuan kerap diabaikan dan dianggap sebagai risiko pekerjaan, terutama dalam dunia jurnalistik yang masih dipengaruhi budaya maskulinitas.
“Ancaman terhadap jurnalis perempuan kurang mendapat perhatian serius. Padahal, mengabaikan kekerasan ini tidak hanya memperburuk ketimpangan gender di media, tetapi juga membahayakan kebebasan pers,” ujar Nany dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Maret 2025.
Salah satu contoh nyata dari ancaman tersebut adalah teror yang dialami jurnalis Tempo sekaligus host siniar Bocor Alus Politik, Francisca Christy Rosana alias Cica. Ia menerima kiriman kepala babi tanpa telinga, menjadi korban doxing, serta mendapat umpatan bernada misoginis. Ibunda Cica pun ikut menjadi sasaran serangan digital.
Selain Cica, jurnalis perempuan yang meliput demonstrasi menolak revisi Undang-Undang TNI di berbagai kota juga mengalami kekerasan. Di Sukabumi, jurnalis perempuan dari Detik.com menjadi korban kekerasan aparat. Sementara di Malang, seorang jurnalis pers kampus mengalami pelecehan seksual secara verbal saat meliput aksi.
Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani, menyoroti akar permasalahan ini. Ia menilai bahwa budaya patriarki yang mengakar kuat menjadikan perempuan sebagai objek penindasan, terutama di negara yang tidak menjunjung kebebasan sipil, demokrasi, serta keadilan gender.
Kasus femisida terhadap jurnalis perempuan pun turut mencerminkan betapa seriusnya ancaman ini. Di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, jurnalis Newsway, Juwita, diduga dibunuh oleh anggota TNI Angkatan Laut. “Kematian Juwita menunjukkan bahwa femisida masih terjadi. Perempuan dipandang sebagai kepemilikan sehingga bisa diperlakukan semena-mena,” ungkap Nany.
Berdasarkan data AJI Indonesia, sepanjang 2024 terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan tujuh di antaranya menimpa jurnalis perempuan. Sementara dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2025, lima jurnalis perempuan menjadi korban dari total 23 kasus kekerasan. AJI menegaskan bahwa perlindungan bagi jurnalis perempuan harus ditingkatkan agar mereka dapat bekerja dengan aman dan tetap menyuarakan isu-isu penting tanpa rasa takut.