SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Seorang anggota senior Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dari sebuah perguruan tinggi negeri di Surakarta, berinisial NSP, terseret kasus pendakian ilegal di Gunung Merapi. Aksinya terbongkar usai unggahan pendakiannya tersebar di media sosial, memicu reaksi keras dari pihak Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM).
NSP diketahui telah lulus kuliah, namun masih aktif sebagai anggota Mapala. Ironisnya, sebagai pendaki berpengalaman, ia justru melanggar aturan dengan mendaki gunung yang sudah lama ditutup untuk aktivitas pendakian.
“Dia ini senior, bahkan sudah alumni. Harusnya paham aturan. Tapi justru ini yang membuat kami bingung dan prihatin. Sudah kami panggil untuk klarifikasi, dan kemungkinan akan diberi sanksi,” ujar Kepala Balai TNGM, M Wahyudi, Senin (14/4/2025).
Wahyudi menyebut, sanksi yang dijatuhkan masih dalam tahap kajian. Namun opsi sanksi berat berupa pemblokiran akses pendakian di beberapa gunung di Indonesia tengah dipertimbangkan demi menimbulkan efek jera.
Gunung Merapi sendiri telah resmi ditutup untuk pendakian sejak Mei 2018, menyusul status siaga yang ditetapkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG). Jalur New Selo dan Sapu Angin yang biasa digunakan para pendaki telah dinyatakan tertutup sampai ada pengumuman resmi pembukaan kembali.
Sayangnya, fenomena pendakian ilegal masih kerap terjadi, baik oleh pendaki pemula maupun mereka yang berlatar Mapala.
“Kami akan segera menyurati seluruh Mapala di Indonesia agar tahu bahwa Merapi belum dibuka untuk umum. Harus ada kesadaran kolektif untuk mematuhi norma yang ada,” tegas Wahyudi.
Kepala SPTN Wilayah II Klaten-Boyolali, Ruky Umaya, mengungkapkan bahwa dari penelusuran yang dilakukan, NSP diduga mendaki hingga kawasan Pasar Bubrah, salah satu titik rawan yang berada kurang dari satu kilometer dari puncak. Bahkan, ia diduga sempat menyalakan api untuk menghangatkan badan.
Padahal, aktivitas vulkanik Merapi masih tergolong tinggi. Menurut BPPTKG, jika erupsi terjadi, lontaran material bisa mencapai jarak 3 kilometer dari puncak. Dalam kondisi seperti itu, berada di Pasar Bubrah sama dengan bertaruh nyawa.
“Sebagai contoh, saat erupsi freatik tahun 2014, lontaran material merusak peralatan BPPTKG. Erupsi 2018, ada 160 pendaki di atas gunung. Beruntung, arah lontaran ke utara, tidak ke Pasar Bubrah,” jelas Ruky.
Ia menegaskan, jika erupsi mengarah ke kawasan tersebut, mustahil ada pendaki yang bisa selamat.
Karena itu, pihak BTNGM meminta semua pihak, terutama komunitas pendaki, untuk tidak menyepelekan risiko Merapi. Pendakian yang terlihat seru di media sosial bisa berujung tragedi, jika dilakukan tanpa memperhatikan keselamatan dan aturan yang berlaku.