JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Badan Penga was Obat dan Makanan (BPOM) menggandeng Badan Karantina Indonesia (Barantin) untuk pengawasan lintas sektor. Kedua lembaga itu sepakat bersinergi dalam pengawasan karantina hewan, ikan, tumbuhan, serta sediaan farmasi maupun makanan, termasuk produk impor-ekspor.
Kepala BPOM Taruna Ikrar menyatakan, kerja sama ini penting untuk memperkuat pengawasan di border atau pintu masuk negara. Menurut dia, permasalahan itu makin krusial seiring masifnya perdagangan global secara daring. “Arus perdagangan antarnegara makin dinamis, terutama lewat marketplace. Pengawasan perbatasan harus diperkuat. BPOM tidak bisa jalan sendiri,” katanya.
Taruna menjelaskan, lembaganya mengawal siklus penuh produk farmasi dan makanan. Mulai dari riset, perizinan, hingga penga wasan di pasaran. “Kontribusi industri ini terhadap ekonomi sangat besar, mencapai Rp6 ribu triliun. Namun, ancaman juga nyata. Tahun lalu saja, kami temukan 309.361 tautan produk ilegal yang berpotensi merugikan negara hingga Rp7,16 triliun,” paparnya.
Senada, Kepala Barantin Sahat Manaor Panggabean menilai, pengawasan tidak bisa lagi bersifat sektoral.
Sahat menambahkan, kerja sama ini juga mencakup digitalisasi layanan, pertukaran data hasil pengawasan, harmo nisasi standar dan regulasi, penguatan labora torium, hingga penanganan no tifikasi antarnegara.
Sebagai langkah konkret, telah diinisiasi perjanjian kerja sama teknis antara Balai Besar Uji Standar Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (BBUSKHIT) dengan Pusat Pengem bangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional BPOM.
Taiwan Larang Mie Instan Rasa Soto Banjar
Sementara, BPOM angkat suara soal larangan produk mie instan Indomie Rasa Soto Banjar Jeruk Limau Kuit di Taiwan usai temuan kandungan etilen oksida (EtO). BPOM mengaku telah menerima laporan dari pemerintah Taiwan soal dugaan kandungan EtO pada mie instan yang diproduksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (Indofood) itu.
Namun, kata BPOM, produk tersebut bukan diekspor resmi dari produsen, melainkan oleh trader dan tanpa sepengetahuan produsen. “Produk tersebut bukan merupakan ekspor secara resmi dari produsen ke Taiwan. Ekspor produk diduga dilakukan oleh trader dan bukan importir resmi dari produsen serta diekspor tanpa sepengetahuan produsen,” ujar BPOM lewat keterangan tertulis, Minggu (14/9).
Saat ini, BPOM menyebut, produsen tengah menelusuri bahan baku dalam produk yang dimaksud. Hasil penelusuran akan dilaporkan segera kepada BPOM. Di sisi lain, BPOM juga memastikan Indomie varian Soto Banjar telah memiliki izin edar. Sehingga, produk yang sama dapat beredar di Indonesia dan tetap aman dikonsumsi. “BPOM mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menyikapi informasi ini,” kata mereka.
Terpisah, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) sebagai anak perusahaan PT Indofood Sukses Makmur Tbk menyatakan, seluruh mi instan yang diproduksi pihaknya telah diproses sesuai dengan standar keamanan pangan BPOM.
Sekretaris Perusahaan, Gideon A Putro menegaskan, Indomie telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), dan diproduksi di fasilitas produksi tersertifikasi berdasarkan Standar Internasional ISO 22000 atau FSSC 22000.
ICBP, kata Gideon, juga telah mengekspor Indomie ke berbagai negara di dunia selama lebih dari 30 tahun. “Perseroan senantiasa memastikan bahwa seluruh produknya mematuhi peraturan dan standar keamanan pangan yang berlaku di negara-negara tempat mi instan ICBP dipasarkan,” kata dia.
Otoritas Taiwan melarang warga mengonsumsi mie instan asal Indonesia, Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kuit, setelah menemukan dugaan kandungan residu pestisida etilen oksida atau EtO dalam produk.
Centre for Food Safety (CFS) Taiwan pada Selasa (9/9) merilis temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) bahwa Indomie varian tersebut diduga mengandung etilen oksida yang tak sesuai dengan standar negara tersebut. Etilen oksida itu terdeteksi pada bungkus bubuk penyedap sebesar 0,1 mg/kg.
Berdasarkan standar Taiwan, etilen oksida tidak boleh ada pada makanan dan tidak boleh melebihi 0,1 mg/kg pada produk yang diperbolehkan. (lyn/oni/jpg/bbs/adz)