SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta menjabarkan beberapa informasi yang dinilai kurang tepat.
Dimana merujuk pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1950/Pdt/2020, Putusan PK Mahkamah Agung RI Nomor 1006/PK/Pdt/2022, serta pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung RI, Lembaga Dewan Adat (LDA) Karaton Surakarta Hadiningrat.
“Ini kita bicara prinsip dasar, posisi hukum keraton. Saat semua menghormati hukum, insaallah akan tercipta kondisi yang sejuk aman dan kondusif. Karena kita memang hidup di negara hukum. Yang mana di keraton itu sekaligus ada 2, di hukum adat dan nasional,” ungkap KPH, Eddy S. Wirabhumi.
Dilanjutkan Eddy, pada tanggal 8 Agustus 2024 lalu sebenarnya sudah dilakukan eksekusi terhadap putusan mahkamah agung.
Dimana hal tersebut sudah melalui serangkaian tingkatan melalui putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
“Mahkamah Agung membatalkan semua putusan yang dibuat sejak adanya SK Mendagri tahun 2017. Antara lain bebadan yang dibentuk tahun 2017 itu bagian dari bukti perbuatan melawan hukum. Bebadan tahun 2017 tidak sah logika hukumnya. Kembali pada tahun sebelumnya tahun 2004,” terang Eddy Wirabhumi.
Ditambahkan Eddy, pada tahun 2004 bebadan yang membuat adalah Sinuhun Pakubuwono XIII, dimana Gusti Moeng menjadi Pengageng Sasana Wilopo
“Artinya sejak pelaksanaan eksekusi kemarin. Seharusnya tidak ada lagi orang yang mengklaim diri atau menjelaskan posisinya atau dikutip media sebagai Pengageng Sasana Wilopo. Apalagi mengeluarkan surat sebagai pengageng perintah keraton, tidak ada itu. Sudah dibatalkan putusan Mahkamah Agung. Jadi tidak ada posisi Pengageng Sasana Wilopo sejak eksekusi selain Gusti Moeng,” jelasnya.
Untuk selanjutnya, Eddy Wirabhumi kemudian mengajak semuanya agar saling mengisi, saling bekerja untuk keraton. Dengan kurang dan lebihnya masing-masing, tetap guyub rukun.
Selain persoalan bebadan di Keraton, Eddy Wirabhumi juga menyebut bahwa semua keputusan lain yang dibuat sejak adanya SK Mendagri itu juga ikut dibatalkan.
Antara lain pengangkatan istri sebagai permaisuri, pengangkatan anak sebagai putra mahkota dan lain sebagainya.
“Artinya ini kembali lagi ke awal. Istrinya Sinuwun ya jadi istri yang baik tidak sebagai permaisuri. Anaknya ya jadi anak yang baik, bukan putera mahkota. Oleh karena itu yang kita dorong adalah Sinuwun ini hanya punya 2 anak laki-laki biarkan mereka saling mengisi, saling membantu untuk menuju Keraton ke depan,” paparnya.
Eddy Wirabhumi kemudian menghimbau agar tidak perlu ada lagi yang merasa paling super. Mengikuti kehendak tuhan, bukan mengikuti kepentingan atas dasar diri sendiri.
“Jadi kita gariskan, supaya anak laki-laki 2 tidak lagi di adu domba. Biarkan mereka saling mengisi, saling menghormati. Jadi itu posisi hukumnnya begitu. Jadi tidak benar kalau kemudian satu merasa istri yang luar biasa, istimewa, kemudian melahirkan anak istimewa. Biasa saja, biarkan mereka berdua saling mengisi, saling memahami masing- masing kurangnya supaya saling mengisi,” pungkasnya. Ando