SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Jejak kembar mayang sebagai simbol pernikahan adat Jawa, ternyata bisa ditarik jauh ke belakang, bahkan hingga sebelum Islam datang ke tanah Jawa.
Jejak itu masih dapat terlihat pada relief Candi Prambanan pada abad ke-9, Candi Mendut, Candi Pawon hingga Candi Borobudur, Jawa Tengah. Di sana tampak pahatan Kalpataru, yakni pohon kehidupan yang dikelilingi oleh binatang dan dedaunan.
Bagi masyarakat Hindu-Buddha kala itu, Kalpataru bukan sekadar pohon secara wadag, melainkan menjadi lambang atau simbol kesuburan, keseimbangan, dan keberlanjutan hidup. Inilah akar simbolik yang kelak berkembang menjadi kembar mayang, meski dalam bentuk yang lebih sederhana dan sesuai dengan kebutuhan ritual baru (Sri Widayanti, 2008).
Ketika Kerajaan Mataram Islam mulai berdiri pada abad ke-16, pusat budaya Jawa beralih ke keraton. Dari sinilah tata cara pernikahan adat Jawa dibakukan. Prosesi seperti siraman, midodareni, hingga temu manten diberi aturan rinci, termasuk kehadiran kembar mayang.
Sepasang janur yang dirangkai menyerupai pohon kecil itu dimaknai sebagai lambang kesucian, doa keselamatan, sekaligus tolak bala bagi pengantin. Keratonlah yang menjadikan kembar mayang bagian resmi dari tata upacara, sehingga maknanya tidak hanya estetis, tetapi juga kosmologis (Duwi Oktaviana, 2022).
Dari balik tembok keraton, tradisi tersebut kemudian menyebar. Para abdi dalem yang keluar karena tugas atau merantau, para bangsawan kecil yang menikah mengikuti tata cara keraton, hingga para seniman dan pengrawit yang membawa cerita dan simbol budaya—semua menjadi saluran penyebaran kembar mayang.
Lambat laun, seiring perjalanan waktu, prosesi ini tidak lagi eksklusif milik keluarga keraton saja, melainkan juga dipraktikkan oleh masyarakat priyayi, lalu menurun ke rakyat secara umum.
Ketika penduduk Jawa bergerak ke wilayah timur, termasuk Madiun, Kediri, sampai Banyuwangi, budaya kembar mayang ikut dibawa serta. Di daerah Osing Banyuwangi, tradisi ini kemudian berpadu dengan budaya lokal, sehingga meski bentuk dan istilahnya kadang bergeser menjadi gagar mayang atau megar mayang, makna dasarnya tetap sama, yakni lambang kesucian dan doa bagi pengantin.
Dengan demikian, kembar mayang tidak pernah kehilangan ruhnya, meski tampil dengan wajah berbeda sesuai kondisi masing-masing daerahnya.
Kini, jika kita menyaksikan sepasang kembar mayang berdiri gagah di sisi pelaminan Jawa, kita sedang melihat warisan panjang berabad-abad. Ia bukan hanya janur yang dirangkai indah secara fisik, tetapi juga merupakan pohon kehidupan yang berpindah zaman: dari relief batu candi, ke halaman keraton Mataram, lalu menyebar hingga ke sudut-sudut desa di tengah masyarakat Jawa kebanyakan.
Semua menyatu dalam doa yang sama: agar rumah tangga baru selalu diberkahi, seimbang, subur, dan selamat sampai kelak di kemudian hari. [Hamdani MW: Disarikan dari berbagai sumber]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.